Thursday, December 3, 2015

Alhamdulillah tinggal selangkah lagi Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al Mawaddah Warrahmah menjadi Institut Agama Islam (IAI) Al Mawaddah Warrahmah Kolaka

Berawal dari Maunah (Pertolongan) Allah, kerja keras DR. K. H. M. Zakariah, MA bersama Dewan Asatidz (Dosen dan Guru), bulan November 2015 melalui Pihak Kementrian Agama memberikan izin operasional untuk 3 program studi masing-masing:
1. Perbankan Syariah,
2. Manajemen Pendidikan Islam,
3. Hukum Keluarga.

sehingga, telah menjadi 5 Program Studi:
1. Pendidikan Agama Islam
2. Ekonomi Syariah
3. Perbankan Syariah
4. Manajemen Pendidikan Islam
5. Hukum keluarga.

Kemajuan STAI Al Mawaddah ke depannya diharapkan menjadi pemicu semangat keilmuan dan keagamaan di daerah kolaka. Bahwa kepercayaan masyarakat yang diamanahkan kepada Pihak Pondok Pesantren selalu dijaga dan diperhatikan, untuk itu pada postingan kali ini, kami akan memposting beberapa gambar yang secara singkat berbicara perjalanan Pondok dibawah asuhan dan binaan DR. K. H. M. Zakariah, MA, atallahu umurahu.


1. Berawal dari TPQ Masjid Al Mawaddah, yang kegiatannya sesuai dengan Madrasah Diniyyah Islamiyyah Wal Arabiyah (MDIA) meliputi: Ngaji, Tajwid, TIlawah, Kaligrafi, Tahfiz, dan Kegiatan Amal Sosial Lainnya (Seperti Bazar).





2. Wisuda Santri TPQ Al Mawaddah







 3. DR. K.H. M. Zakariah, MA mulai memikirkan untuk mendirikan sebuah pondok pesantren, sehingga dipilihlah tanah rawa di daerah lamokato.


4. Proses Pembangunan pun dimulai






5. Ruang Mushollah,Kelas, dan Kantor siap dipakai
6. Abah KIAI masih berifkir tentang asrama putra dan putri untuk menampung santri yang berasal dari luar daerah, sehingga dengan tekad yang kuat dan maunah ALLAH, abah KIAI menyewa rumah tetangga pondok sebagai asrama putra dan putri.
keterangan gambar: rumah panggung ini adalah asrama putra pada lantai atas,
dan pada lantai bawah dijadikan sebagai dapur, sehingga anda melihat santri putri.


7. Pembangunan Asrama Putra dan Putri direncanakan dan digalakkan











8. Alhamdulillah, saat ini Pondok Pesantren meliputi:
a. Madrasah (Kurikulum Kementrian Agama)
   - Raudhatul Atfhal Al Mawaddah Warrahmah
   - Madrasah Ibtidaiyyah Al Mawaddah Warrahmah
   - Madrasah Tsanawiyah Al Mawaddah Warrahmah (Muqim/Tinggal di Pondok)
   - Madrasah Aliyah Al Mawaddah Warrahmah (Muqim/ Tinggal di Pondok)











b. Sekolah Islam Terpadu (Kurikulum Terpadu Kementrian Pendidikan Nasional, Kementrian Agama, Global/Internasional, dan Ke Pesantrenan) meliputi:
  - Kelompok Bermain Al Mawar
  - TK Islam Terpadu Al Mawar
  - SD Islam Terpadu Al Mawar (Senin-Jumat Jam 07.00-15.00, sedangkan hari Sabtu diisi dengan program outer class/outdoor)
  - SMP Islam Terpadu Al Mawar (Senin-Jumat Jam 07.00-16.00, sedangkan hari Sabtu diisi dengan program outer class/outdoor)
  - SMA Islam Terpadu Al Mawar (Senin-Jumat Jam 07.00-16.00, sedangkan hari Sabtu diisi dengan program outer class/outdoor)
  - SMK Islam Terpadu Al Mawar (Senin-Jumat Jam 07.00-16.00, sedangkan hari Sabtu diisi dengan program outer class/outdoor)

Proses Belajar Mengajar di SD Islam Terpadu

Gedung Sekolah Islam Terpadu Al Mawar

c. Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al Mawaddah Warrahmah, memiliki 5 Program Studi:
 - Pendidikan Agama Islam
 - Ekonomi Syariah
 - Perbankan Syariah
 - Manajemen Pendidikan Islam
 - Hukum Keluarga.

Rektorat Sekolah Tinggi Agama Islam Al Mawaddah Warrahmah

Ruang Kuliah STAI Al Mawaddah Warrahmah





 Akhirnya, Kepada ALLAH kami Alumni Selalu berdoa agar Pondok Pesantren Al Mawaddah Warrahmah selalu diberkahi ALLAH.




Ilmu dan Derajat Manusia



اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ  أَرْسَلَهُ بِالْحَقِّ بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ. اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى سيدنا محمد وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ، فَيَا عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ، واتَّقُوا اللهََ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.

Nabi Muhammad memerangi perilaku jahat, kelaliman, dan tindak kekerasan yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat Arab saat itu dengan mengajak dan mendidik umat manusia supaya memiliki ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan, seseorang akan bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Mana yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain, dan mana yang membahayakan. Karenanya, belajar atau sekolah di dalam Islam memiliki tempat yang sangat istimewa.
Allah Swt berfirman:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجاتٍ
Artinya: “Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu, dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujâdalah 11).
Dalam QS. Ali ‘Imrân 18 Allah berfirman:
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْط
Artinya: “Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Dia; (demikian pula) para malaikat dan orang berilmu yang menegakkan keadilan.”
Kata “ûlûl ‘ilmi” dalam ayat di atas artinya adalah orang yang memiliki ilmu. Allah menyebutkan “orang berilmu” dalam ayat tersebut pada urutan ketiga setelah penyebutan diri-Nya dan malaikat. Hal ini menunjukkan bahwa “orang yang berilmu” memiliki tempat yang sangat istimewa di sisi Allah, dan orang yang berilmu akan menegakkan keadilan.
Sedangkan hadis nabi yang menjelaskan tentang perintah mencari ilmu atau sekolah dan keutamaannya juga banyak sekali. Antara lain:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Artinya: “Mencari ilmu hukumnya wajib bagi semua orang Islam.”
لَا يَنْبَغِيْ لِلْجَاهِلِ أَنْ يَسْكُتَ عَلَى جَهْلِهِ وَلَا لِلْعَالِمِ أَنْ يَسْكُتَ عَلَى عِلْمِهِ
Artinya: “Orang bodoh tidak boleh diam atas kebodohannya, dan orang berilmu tidak boleh diam atas pengetahuan yang dimilikinya.” 
Kepada sahabatnya yang bernama Kumail, Ali bin Abi Thalib mengatakan:
يَا كُمَيْلُ، اَلْعِلْمُ خَيْرٌ مِنَ الْمَالِ
“Wahai Kumail, ilmu itu lebih baik daripada harta benda.”
اَلْعِلْمُ يَحْرُسُكَ وَأَنْتَ تَحْرُسُ الْمَالَ
“Ilmu akan menjagamu, sementara engkau akan menjaga harta.”
وَالْعِلْمُ حَاكِمٌ وَالْمَالُ مَحْكُوْمٌ عَلَيْهِ
“Ilmu akan menjadi hakim (pemutus), sementara harta akan menjadi sesuatu yang dihakimi (diputuskan).”
وَالْمَالُ تَنْقُصُهُ النَّفَقَةُ وَالْعِلْمُ يَزْكُوْ بِالْإِنْفَاقِ
“Harta akan berkurang sebab digunakan, sementara ilmu akan bertambah bila diberikan atau diamalkan.”
Lebih jauh Sahabat Ali bin Abi Thalib mendendangkan syair:
مَا الْفَخْرُ إِلَّا لِأَهْلِ الْعِلْمِ إِنَّهُمْ    #         عَلَى الْهُدَى لِمَنِ اسْتَهْدَى أَدِلَّاءُ 
“Tidak ada kebanggaan kecuali bagi orang-orang yang punya ilmu, mereka menjadi petunjuk bagi orang yang meminta ditunjukkan.”
وَقَدْرُ كُلِّ امْرِىءٍ مَا كَانَ يُحْسِنُهُ   #         وَالْجَاهِلُوْنَ لِأَهْلِ الْعِلْمِ أَعْدَاءُ 
“Derajat setiap orang adalah dapat memperbaiki sesuatu, sementara orang-orang bodoh memusuhi orang-orang yang berilmu.”
فَفُزْ بِعِلْمٍ تَعِشْ حَيّاً بِهِ أَبَداً        #         اَلنَّاسُ مَوْتَى وَأَهْلُ الْعِلْمِ أَحْيَاءُ
Maka menangkanlah dengan ilmu. Dengan ilmu engkau akan hidup selama-lamanya. Semua manusia akan mati, sementara orang berilmu akan tetap hidup.

Sunday, October 4, 2015

Selamat Kanda Akmir, S. Pd.I, M. Pd. I dan Kanda Dirgahayu S. Pd.I

 

Pengurus Ikatan Alumni Santri Al Mawaddah Warrahmah Pusat Kolaka mengucapkan:

Selamat Kanda Akmir, S. Pd.I, M. Pd. I dan Kanda Dirgahayu S. Pd.I

Alhamdulillah
Wassholawatu ala sayyidina habibina syafiina Muhammad S. A. W

  "Semoga Allah menjadikan keluarga Mawaddah Warrahamah dan Sakinah, seperti bahtera kehidupan Nabi Adam dan siti Hawa, bagai Nabi Ibrahim dan siti hajar serta siti sarah, laksana Nabi Yusuf dan siti zulekha, semisal Sayyidina Nabi Muhammad, S. A. W dengan siti Khadijah Al-qubro dan siti aisyah ummul mukminin, dan menjadi penerus layar Sayyidina Ali karromallhu wajhu dan siti Fatimah"


Nasehat Prof. Dr. Said Aqil Siradj, MA

Hadirin yang dirahmati Allah, Islam menegaskan tentang pentingnya organisasi, jam’iyyah yang mampu menghadirkan kemaslahatan ummat. Menyatukan komitmen untuk menegakkan maslahat, merupakan tujuan dari ibadah sosial yang diserukan Islam.
لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ
Tidak ada kebaikan, pada kebanyakan pembicaraan-pembicaraan rahasia mereka, kecuali untuk menyuruh manusia memberi sedekah, atau menghadirkan kebaikan, atau mengupayakan perdamaian antara umat manusia (QS, An-Nisa: 114). 
Islam menyerukan pentingnya menghadirkan kemaslahatan umat sebagai wujud dari peran penting kaum muslim. Kita menyelenggarakan diskusi, rapat, musyawarah maupun berorganisasi, tidak ada baiknya di hadapan Allah, kecuali dengan tiga hal:

Pertama, أَمَرَ بِصَدَقَة. Islam menyerukan komitmen warga muslim untuk bersama-sama mengentaskan kemiskinan. Harakah islamiyyah (gerakan keislaman) perlu difokuskan untuk menghadirkan kesejahteraan. Kemiskinan akan mendorong umat menjadi lemah, dekat dengan kekufuran. Indonesia sebenarnya kaya raya, dikenal sebagai negeri zamrud khatulistiwa, yang di dalamnya terdapat pelbagai kekayaan alam; ragam fauna, tumbuhan, mutiara-mutiara hingga material tambang di perut bumi. Inilah yang harus dikelola sebagai kekayaan bangsa. 
يقول الرسول صلى الله عليه وسلم  الناس شركاء في ثلاث الماء والكلأ والنار
“Rasulullah bersabda, ada tiga sumber energi yang menjadi milik bersama, yakni air, api dan hutan.”

Tentu saja, sabda Rasulullah ini harus menjadi inspirasi bagi kita semua untuk menegakkan bangsa yang berdaulat. Kedaulatan politik, ekonomi dan kebudayaan memerlukan komitmen kedaulatan energi. Sumber air yang melimpah, mutlak untuk kesejahteraan rakyat. Kekayaan minyak dan bahan tambang, harus menjadi sumber kedaulatan energi. Hutan-hutan yang luas, wajib dikelola untuk kemaslahatan bangsa ini. Dari kekayaan melimpah di negeri ini, ternyata masih banyak warga yang miskin. Tidak hanya miskin harta, namun juga miskin mental. Untuk itu, perlu ada dorongan sekaligus kebijakan untuk membuka lapangan kerja yang luas, yang memberi kesempatan bagi kader terbaik bangsa ini. Pembenahan mental mutlak dilakukan, agar kita mampu berkarya dan berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain.

Rumusan dasar negara, dalam Pasal 33 UUD 1945 mengingatkan kita tentang betapa pentingnya energi sebagai modal untuk mensejahteraan rakyat. Intinya, bukan hanya pertumbuhan ekonomi yang dikejar, akan tetapi yang lebih penting adalah pemerataan kesejahteraan. Pada titik ini, kebijakan strategis pemerintah menjadi kuncinya.

Kalau prinsip kepemimpinan dan tujuan kesejahteraan rakyat tidak sejalan-beriringan, maka ancamannya adalah kerusakan di segala bidang, yang menimbulkan murka dari Sang Pencipta Jagad Raya, Allah Subhanahu wata’ala.
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّبَلْ أَتَيْنَاهُم بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَن ذِكْرِهِم مُّعْرِضُون
Kalau sekiranya kebenaran tunduk kepada kehendak hawa ¬nafsu mereka, niscaya rusaklah semua langit dan bumi dan segala apa yang ada di dalam¬nya. Bahkan Kami berikan ke¬pada mereka itu al-Quran untuk kehormatan sebutan mereka, namun mereka tetap berpaling dari kehormatan itu (QS: Al-Mu’minun: 71).

Hadirian sekalian, yang berlimpah Berkah 

Kedua, أَوْ مَعْرُوف. Kebaikan-kebaikan yang menghadirkan harapan. Islam menegaskan tentang pentingnya pengetahuan untuk membangun peradaban. NU berkomitmen untuk terus mengabdi dalam mencerdaskan bangsa dan menyehatkan warga. Dalam hal ini, sudah berlangsung di pelbagai penjuru negeri, pendirian Universitas-Universitas Nahdlatul Ulama, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Rumah Sakit yang menjadi bukti kongkret kiprah NU.

Komitmen untuk menghadirkan kecerdasan, hanya dapat tercapai dengan jalan ketaqwaan. Revolusi mental bangsa hanya dapat digapai dengan moral dan keteladanan. Gerakan mencerdaskan otak, menyegarkan mental, dan menjernihkan hati, akan mendorong lahirnya individu yang shalih, sekaligus juga masyarakat yang shalih. Bangsa yang paling mulia di hadapan Allah, ialah bangsa yang bertaqwa. 

وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“…. dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Al Hujurat: 13)

Ketaqwaan inilah yang menjadi inspirasi bagi kalbu dan penjernih pikiran. Gerakan intelektual dan strategi kedaulatan, haruslah diiringi dengan kejernihan hati, kecerdasan moral, dan keteguhan mental. Allah menjanjikan derajat yang tinggi, maqaaman mahmuuda, bagi orang-orang dan bangsa yang memiliki keunggulan pengetahuan. 
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ اَمَنُوْا مِنْكُمْ وَ الَّذِيْنَ اُوْتُوْا الْعِلْمَ دَرَجَتٍ
Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu, dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS: Al-Mujaadalah: 11)

Upaya mencerdaskan generasi bangsa, adalah tugas strategis yang menjadi darma bakti warga nahdliyyin. Sejarah panjang hadirnya pesantren di negeri ini, menjadi penanda betapa kiai terdahulu sudah berkiprah dalam membangun pengetahuan dan kesejahteraan masyarakat. Islam tidak hanya memikirkan aspek teologi maupun ritual semata. Al-islamu dinul tsaqofah wal hadharah wal insaniyyah. Islam adalah agama yang membangun pengetahuan, peradaban dan kemanusiaan. Mencerdaskan bangsa, sekaligus menyehatkan fisik dan mentalnya, tubuh dan jiwanya, merupakan komitmen bersama yang digariskan NU, sebagaimana teladan dari para kiai pendiri organisasi ini.

Tentu saja, pemerintah tidak mungkin menangani semua aspek dalam kehidupan warga negeri ini. NU sebagai jama’ah (komunitas) sekaligus jam’iyyah (organisasi) berkomitmen untuk membantu mencerdaskan warga negeri ini, agar mampu meraih kesejahteraan. Komitmen kami, terbukti dalam bidang pendidikan serta ekonomi kerakyatan.

Ketiga, أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ. Menjadi jembatan islah, rekonsiliasi antar masyarakat. Islam mengajarkan tentang pentingnya maslahah ‘ammah, kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. NU telah membuktikan, dalam sejarah panjangnya, sebagai mediator dalam konflik-konflik kemanusiaan, maupun sengketa kebangsaan. Hadratus Syaikh Hasyim Asy’arie, Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Wahid Hasyim, dan beberapa kiai NU lainnya, selalu menjadi penengah dalam situasi konflik.

Kiai Hasyim Asy’arie menjadi pejuang sekaligus penengah di awal masa kemerdekaan bangsa ini. Beliau dengan ikhlas memberikan  tongkat kepemimpinan negara kepada Soekarno, yang ia beri restu untuk mengawal NKRI. Kiai Wahab Chasbullah menjadi mediator dalam himpitan kolonial, untuk memperjuangkan kepentingan warga negara Indonesia. Kiai Wahid Hasyim, menjadi jembatan aspirasi antar kelompok, dalam masa awal kemerdekaan republik ini. Kiai-kiai lain juga berperan untuk tujuan yang sama, dalam ruang dan peran yang berbeda-beda. Tentu, dalam konteks sekarang, NU hadir sebagai mediator untuk menjaga kesatuan bangsa dan mengukuhkan NKRI, bahkan juga dalam sengketa agama dan kemanusiaan di dunia internasional.

NU tanpa pretensi politik praktis, selalu berperan menjadi perekat bangsa, mengawal utuhnya NKRI. Kiranya, jelas rumusan kebangsaan yang dapat menjadi referensi, sebagaimana termaktub dalam PBNU: Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945. Untuk itu, NU sekali lagi menyerukan kepada pemerintah untuk berpegang kepada konstitusi, teguh pada dasar negara. 
تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة
“Kebijakan seorang pemimpin mestilah merujuk pada kemaslahatan bersama.”
Konsep kepemimpinan ini bermakna substansial, sesuai dengan kaidah fiqh as-siyasah, yang tercermin dalam kitab al-Asybah wa an-Nadhair. Pemimpin mestilah berpegang pada prinsip untuk mensejahterakan rakyatnya, menyebar optimisme dan menghadirkan teladan kebaikan.

Nahdlatul Ulama selalu berkomitmen untuk mengawal negara, agar tidak terpecah belah dalam kepentingan rasial, etnik maupun manuver-manuver politik kelompok tertentu. Dalam sejarah Nahdlatul Ulama menjelang Satu Abad ini, organisasi ini bergerak dalam bidang-bidang strategis yang menghadirkan kemaslahatan untuk umat. 

Thursday, August 13, 2015

STAI Al Mawaddah Warrahmah Kolaka Gelar Tazkiyatul Qalb

 

Kolaka, (Inmas Sultra) — Mengawali Tahun Akademik (TA) 2015/2016, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al Mawaddah Warrahmah Kolaka, Sulawesi Tenggara (Sultra), menyelenggarakan kegiatan “Marhaban dan Tazkiyatul Qalb” bagi mahasiswa baru, yang dirangkaikan dengan Pembekalan Kuliah Kerja Latihan Profesi (KKLP) untuk mahasiswa semester VII, Selasa (28/07/2015).
Kegiatan yang dihelat di Aula Lantai 2 Pondok Pesantren (Ponpes) Al Mawaddah Warrahmah Kolaka ini diikuti 110 mahasiswa, meliputi 60 orang mahasiswa baru dan 50 orang mahasiswa semester VII.
Ketua STAI Al Mawaddah Warrahmah Kolaka, DR. KH. M. Zakariah, MA, dalam sambutannya mengatakan, kegiatan orientasi bagi mahasiswa baru di kampus yang ia pimpin sangat berbeda dengan kampus-kampus yang lain pada umumnya. “Masa orientasi, diisi dengan kegiatan Tazkiyah Qalb, yakni sebuah kegiatan yang mengkombinasikan intelektual, emosional serta spiritual melalui mekanisme pembersihan hati dari sifat-sifat yang buruk hingga semakin dekat dengan Allah SWT,” katanya.
Ia menjelaskan, ada Tiga hal yang ditekankannya kepada seluruh mahasiswa dan seluruh tenaga pengajar tahun ini. “Pertama, adalah kebersihan, sebab kebersihan itu bagian dari keimanan. Kedua, kedisiplinan karena kedisiplinan itu kunci kesuksesan, dan yang ketiga ialah Peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM), utamanya menghadapi era informasi dan teknologi,” jelasnya.
Humas STAI Al Mawaddah Warrahmah Kolaka, Ibrahim Tawile, menambahkan kegiatan orientasi bagi mahasiswa baru yang dikemas dengan “Tazkiyatul Qalb “ merupakan agenda rutin. “ini sudah menjadi budaya di STAI Al Mawaddah Warrahmah Kolaka saat memasuki tahun akademik baru, sebab memiliki manfaat yang sangat besar dari sisi akademis dan religi,” imbuhnya.
Kegiatan tersebut diharapkan memberi manfaat yang sangat besar, bukan hanya sebagai masa pengenalan kampus tetapi juga sebagai sarana untuk meningkatkan iman dan takwa sekaligus bisa menjadi contoh bagi kampus-kampus lainnya dalam menghadapi masa orientasi.

Tim Kemenag RI Kunjungi STAI Al Mawaddah Warrahmah Kolaka-Sulawesi Tenggara



Tim Direktorat Jenderal Pendidikan Tingi Kementerian Agama Republik Indonesia yang dipimpin oleh Prof. DR. Ahmad Thib Raya, MA dan didampingi oleh M. Adib Abdhomad, M.Ag, M.Ed, P.hd melakukan kunjungan kerja ke Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al Mawaddah Warahmah Kolaka, Sabtu, (8/9).
Bertempat di lantai dua gedung rektorat STAI Al Mawaddah Warrahmah Kolaka, Kunjungan kerja ini dimaksudkan untuk melakukan visitasi dua program studi baru yakni Akhwal Syakhsiyah dan Manajemen Pendidikan Islam.
visitasi yang dipimpin oleh bapak Profesor Ahmad Thib Raya ini bertujuan untuk melihat secara real kondisi perguruan tinggi mulai dari sarana-prasarana, kelayakan tempat serta yang paling penting adalah dosen yang sesuai dengan bidang keilmuan masing-masing program studi sehingga tidak ada kampus yang tidak layak melangsungkan perkuliahan.
Sementara itu Ketua STAI Al Mawaddah Warrahmah dalam sambutannya juga menyampaikan bahwa posisi STAI Al Mawar sangat potensial sebab Kolaka diapit oleh beberapa Kabupaten yakni Kolaka Timur, Kolaka Utara dan Bombana dan ketiga kabupaten ini sangat jarang dijumpai perguruan tinggi Islam.

Selain melakukan visitasi. Profesor H.Ahmad Thib Raya, dan bapak M. Adib Abdushomad juga meluangkan waktunya untuk memberikan kuliah umum kepada para mahasiswa STAI Al Mawaddah Warrahmah Kolaka

Wednesday, July 1, 2015

Nasehat Gus Ali Sidoarjo, Pimpinan Pondok Pesantren Progresif Bumi Sholawat

Sebutir kebaikan yang dilakukan oleh orang-orang yakin dan takwa, lebih unggul dari pada yang dilkaukan oleh orang-orang bodoh dan tertitpu, mungkin timbul pertanyaan? mengapa? kenapa?
Karena orang yakin dan takwa, bila beramal selalu berlandaskan dengan ilmu, dan memiliki sinyal yang kuat kepada Allah. Aamiin, tidak cukup hanya kata amiin, tetapi disertai upaya yang kuat.

Langkah cerdas untuk menjadi yakin, takwa dan cerdas:
1. Selalu bergaul dan berkumpul dengan orang-orang soleh. Ibnu athoillah berkata" janganlah kamu bersahabat yang kondisinya tidak bisa membangkitkan semangatmu (semangat bekerja, semangat beribadah, semangat berjuang), dan ucapannya tidak bisa membimbingmu menuju jalan Allah. Ukuran mencari sahabat adalah "Ukuran cerdas". Ali Karramallahu wajha berkata " Orang yang makan bersama mu belum tentu menjadi sahabat, sahabat sejati adalah mau mendekat, mau membantu ketika kalian mendapatkan kesusahan. 

Maaf, saya bukan mengkultuskan seseorang, tapi coba kita perhatikan wajah AGH. Sanusi Baco, wajahnya sejuk, ketika melihat wajahnya kita ingat Allah, dawuh e/nasehatnnya kita ingat Allah. Kita mencari Islam ramah, bukan islam Marah.

Jangan percaya ada orang sukses berangkat sendiri, apa sebabnya? karena manusia sebagai makhluk individu, juga merupakan mahluk sosial. Coba kita melihat, K.H. Hasyim Asyari, seorang ulama besar, ahli hadits, pendiri Jamiyyah Nahdlatul Ulama, pendiri pondok pesantren tebu irerng Jombang, sekaligus pahlawan nasional, maaf, beliau sukses bersama, ada KH. Wahab Hasbulla, KH. Asnawi kudus, KH. Bisri Sansuri. Contoh lain, Ir. Soekarno, kalau beliau pidato, dari tukang becak sampe orang besar, pasti mendengarkan teliti, sekarang presiden kita kalo pidato, jangankan tukang becak e, anggota terhormat DPR tidur pulas. Ir. Soekarno Go Internasional, tidak sukses sendiri, disana ada Drs. Moh. Hatta, Mr. M. Yamin, KH. Wahid Hasyim (bapak e gusdur, gusdur jadi presiden wajar, karena bapak e adalah founding father). Kepala sama berambut, kecerdasan beda.

Sayyidina Umar punya tesis " Kalau ada orang sukses dan berhasil, kharisma nya kuat, santrinya banyak" ndag usah tanya" nyantri dimana, berapa tahun kuliah", tapi tanyakan dua hal" Siapa ibunya dan siapa istrinya?" Ya betul sekali "Ibu adalah Madrasah Awal untuk seorang anaknya. Jika ada anak yang ditinggal mati ayahnya, kebanyakan akan sukses, karena kebiasaan ibu adalah keuletan seorang IBU. Banyak wali-wali besar, adalah didikan dari wanita soleha, Sulton Auliya Abdul Qodir Jailani, Wais Al qorni, Imam Arrifai, Abu Hasan Assyazzili, Imam Al Ghozali.

Sunday, June 28, 2015

Pesantren dan Pengembangan Masyarakat



Oleh KH MA Sahal Mahfudh.





Pesantren sebagai lembaga pendidikan dan lembaga sosial keagamaan yang pengasuhnya juga menjadi pemimpin umat dan menjadi sumber rujukan umat dalam memberikan legitimasi terhadap tindakan warganya, sudah barang tentu mempunyai dasar pijakan yang bersifat keagamaan dalam melakukan tindakannya, terutama jika itu dianggap ''baru" oleh masyarakatnya. Hal tersebut, karena watak pimpinan keagamaan dan masyarakat pendukungnya yang fiqih oriented selalu meletakkan kegiatan yang dilakukan dalam pola hitam-putih atau salah-benar menuntut hukum Islam.
Salah satu kegiatan yang dianggap baru menurut kalangan masyarakat pesantren adalah pengembangan masyarakat, setidaknya kalau dilihat secara kultural dari misi utama pesatren, serta porsi kegiatannya secara global, dalam bidang pendidikan. Sedangkan pengembangan masyarakat, meskipun selama ini sudah dilakukan, hanya bersifat sporadis. Kegiatan pengembangan masyarakat belum dilakukan pesantren secara kelembagaan, di samping tanpa disertai visi yang jelas, serta perangkat pendukungnya yang memadai.
Sementara itu pengembangan masyarakat yang bermuara pada peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat dengan pendekatan kebutuhan dan permasalahan masyarakat sebagai subyek atau obyek, sedangkan kebutuhan masyarakat itu selalu berkembang dan permasalahan masyarakat pun hampir tidak pernah absen di semua lapisan masyarakat, baik secara moril mau pun materiil, maka sesungguhnya pengembangan masyarakat akan selalu mendapat tempat sepanjang masa di masyarakat mana pun, baik kota mau pun desa, yang masih bersifat agararis mau pun masyarakat industri.
Namun kalau pesantren ingin berhasil dalam melakukan pengembangan masyarakat yang salah satu dimensinya adalah pengembangan semua sumber daya, maka pesantren harus melengkapi dirinya dengan tenaga yang terampil mengelola sumber daya. yang ada di lingkungannya, di samping syarat lain yang diperlukan untuk berhasilnya pengembangan masyarakat. Sudah barang tentu, pesantren harus tetap menjaga potensinya sebagai lembaga pendidikan.
Pesantren yang mampu mengembangkan dua potensinya, yaitu potensi pendidikan dan potensi kemasyarakatan, bisa diharapkan melahirkan ulama yang tidak saja dalam ilmu pengetahuan keagamaannya, luas wawasan pengetahuan dan cakrawala pemikirannya, tetapi juga mampu memenuhi tuntutan zamannya dalam rangka pemecahan persoalan kemasyarakatan.
***
Untuk meletakkan pengembangan masyarakat atau pembangunan dalam dimensi agama, terlebih dulu perlu dilihat kaitan kewajiban seorang muslim yang telah siap menerima amanat atau tanggung jawab dari Allah SWT. Untuk itu di samping memberi ajaran yang tertuang dalam bentuk Al-Qur’an dan Hadits sebagai pedoman hidup, Allah menciptakan manusia terdiri atas lima komponen(1): (1). Jasad, (2). Akal, (3). Perasaan, (4). Nafsu, (5). Ruh.
Dari terkumpulnya lima komponen itu, manusia mempunyai dua potensi atau kemampuan, yaitu pertama kemampuan fisik (quwwah 'amaliyah) atau kemampuan untuk melakukan kerja, yang kedua, kemampuan berpikir (quwwah nadhariyah). Kemampuan berpikir ini sehat, bila akal, perasaan dan nafsu berjalan sekaligus. Berpikir tanpa menggunakan akal akan menjadikan seseorang emosi. Maka atas dasar kemampuan yang diberikan oleh Allah di atas, manusia mempunyai tanggung jawab melaksanakan peritahNya dan meninggalkan laranganNya secara simultan.
Mahmud Syaltut melihat bahwa ajaran Islam itu pada dasarnya dibagi dua komponen pokok, yaitu 'aqidah dan syari’ah.(2) Dalam menghampiri masalah ‘aqidah yang menyangkut aspek kepercayaan manusia banyak dituntut menggunakan kemampuan berpikir. Dalam menghampiri masalah syan'ah yang menyangkut aspek perilaku, manusia dituntut banyak menggunakan kemampuan fisik.
Dari aspek syari'ah yang mengatur hubungan manusia inilah pada dasarnya lahir taklif, yang mesti dilakukan manusia dalam menjalin hubungan dengan empat macam sasaran terjadinya proses pembangunan atau pengembangan masyarakat. Empat macam sasaran dimaksud tidak bisa diabaikan dan dipisahkan salah satu dari yang lainnya, sebab dengan mengabaikannya akan terjadi ketidakseimbangan kehidupan seseorang. Atau dengan ungkapan lain, kehidupan seseorang yang mengabaikan salah satu hubungan dari empat macam sasaran tersebut tidak akan mencapai hasanah di dalam kehidupan dunia kini atau hasanah di dalam kehidupan akhirat kelak, di mana keduanya menjadi tujuan akhir kehidupan seseorang beragama.
Adalah tidak mungkin mengetengahkan semua dasar-dasar agama yang menjadi pangkal tolak para tokoh Islam, khususnya para pengasuh pesantren dalam melakukan kegiatan pengembangan masyarakat baik yang bersumber dari nash-nash Al-Qur’an, Hadits, mau pun Atsar (pendapat, atau perilaku para sahabat Nabi). Sesuai dengan alur pemikiran yang membagi syari'ah kepada empat macam hubungan manusia, maka ada baiknya di sini diketengahkan dasar-dasar keagamaan dengan empat pola hubungan yang mendorong para pengasuh pesantren (setidaknya kami sendiri) untuk melakukan pengembangan masyarakat.
***
Seperti dijelaskan di atas bahwa aspek syari'ah merupakan perwujudan dari aspek 'aqidah. Dengan kata lain, sebagai orang yang percaya kepada Allah, ia harus melakukan perintahNya dan menjauhkan laranganNya. Aturan mengenai "perintah dan larangan" yang mendasari hubungan manusia dengan Allah, disebut ‘ibadah, yaitu upaya seseorang dalam rangka mendekatkan diri pada Allah. Ibadah ini ada dua macam, pertama, ibadah yang bersifat qoshirah, yaitu ibadah yang manfaatnya kembali kepada pribadinya sendiri. Kedua, ibadah muta'addiyah yang bersifat sosial. Ibadah sosial ini manfaatnya menitikberatkan pada kepentingan umum. Dalam kaidah fiqih(3) disebutkan: Ibadah yang bermanfaat kepada orang lain lebih utama daripada ibadah yang manfaatnya hanya kepada diri sendiri".
Akan tetapi dalam hal ini tidak bisa diartikan, lebih baik beribadah yang muta'addiyah saja, dan ibadah yang qashirah kita tinggalkan. Kecuali apabila terjadi keadaan yang dilematis (ta'arudl) antara ibadah qoshirah dan ibadah muta'addiyah diutamakan untuk memilih muta'addiyah sepanjang yang qashirah tidak berupa fardlu 'ain. Dalam kaitan ini pula perlu diketengahkan bahwa pada dasarnya setiap manusia adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban (di hadapan Allah) seperti disampaikan Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadits(4), yang artinya: "Kamu semua adalah penanggung jawab, dan akan dimintai pertanggunjawaban atas yang dipercayakan padamu". Sudah barang tentu setiap pemimpin diharapkan melakukan tanggung jawab sebaik-baiknya, sehingga orang yang dipimpin, orang yang diasuh, bisa menikmati kehidupan, menikmati kemerdekaan dan sebagainya.
Hadits di atas juga berkaitan dengan firman Allah dalam Al-Qur’an yang mengatakan bahwa, Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi dengan firmanNya yang artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat; Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata, "Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi, orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman, "Sesungguhya Aku mengetahui yang tidak kamu ketahui".
Dari sini bisa dipahami, bahwa tugas kekhalifahan manusia di bumi ini sebenarnya agar manusia berbuat baik di atas bumi tidak merusak, baik merusak kehidupan, lingkungan atau tatanan yang ada. Dengan demikian sebenamya kuatlah dasar dan motivasi pengasuh pesantren untuk melakukan kerja membangun, baik untuk dirinya sendiri, keluarganya mau pun masyarakat. Sebab agama memberi wahana ibadah yang bersifat individual, di samping wahana ibadah yang bersifat sosial. Dan keduanya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah untuk mencari ridlaNya dalam arti melakukan tanggung jawab di hadapanNya.
***
Islam mengatur hubungan antar manusia, baik antar muslim dengan muslim, atau muslim dengan non-muslim. Apakah antara kedua belah pihak ada hubungan kekerabatan persaudaraan, atau hubungan sosial. Dengan demikian satu sama lain saling mengakui keberadaannya. Nabi memberikan dorongan perlunya memperhatikan damemecahkan masalah yang menimpa umat Islam, sebagai berikut: “Barang siapa yang tidak memperhatikan urusan umat Islam, tidak termasuk golongan mereka".(5)
Lebih lanjut untuk memberi gambaran betapa perlunya pemimpin umat agar selalu memperhatikan nasib dan kehidupan kaum dlu'afa, ada baiknya diketengahkan surat Khalifah Umar Ibn Khattab RA kepada Mu’awiyah ibn Abi Sufyan, “Hendaknya engkau takut, jangan sampai menjauhi masyarakat, dan dekati mereka yang dla’if bahkan mereka yang di bawahnya, dan berilah mereka kesempatan untuk menyampaikan pendapat, sehingga luaslah kesempatan mereka untuk berbicara, kenalilah orang asing karena apabila mereka ditekan, lemahlah pemikirannya dan meninggalkan haknya".(6) Surat ini memberikan kesan agar para pemimpin umat selalu memikirkan keadaan masyarakat, mengetahui keadaan mereka, memberi kesempatan mereka untuk menyampaikan pendapat, agar dengan demikian terbuka pula kesempatan untuk pengembangan diri mereka dan pengembangan potensi manusiawinya.
Kalau melihat permasalahan orang desa di sekitar pesantren, yang pada umumnya pesantren berada di daerah pedesaan, banyak masyarakat desa dililit oleh permasalahan yang kompleks, seperti pendapatan rendah, ketidakmampuan membiayai pendidikan anak, ketidakberdayaan mereka untuk mendapatkan hak-hak yang asasi, lebih-lebih kalau mereka berhadapan dengan kekuatan yang lebih besar seperti kekuatan negara, mereka tak berdaya. Hanya saja karena penduduk desa ini sudah terbiasa dengan serba kesulitan, maka masalah yang mereka derita tidak dirasakan sebagai masalah, padahal orang lain melihatnya sebagai masalah serius yang perlu segera diatasi. Di sinilah kewajiban para pengasuh pesantren sebagai pemimpin umat untuk memperhatikan permasalahan umat tersebut.
***
Pada prinsipnya manusia diberi kebebasan berpikir tentang alam, di samping memanfaatkannya untuk diri sendiri atau kepentingan bersama. Bahkan dalam al-Qur’an surat Huud ayat 61, Allah berfirman, “Dia (Allah) telah menciptakan kalian dari tanah dan menuntut kalian membangun (memakmurkan) di atasnya". Setidaknya dari ayat yang diperintahkan Allah di atas, memberi himbauan kepada hambaNya, untuk meramaikan bumi atau membangun di atas bumi ini. Jelas perintah di sini adalah untuk berbuat baik, bukan sebaliknya, untuk melakukan kerusakan seperti yang dikhawatirkan para malaikat dalam dialognya dengan Allah dalam menanggapi proses awal penciptaan manusia.
Kewajiban membangun di atas bumi yang berwajah duniawi ini tentu perlu dilengkapi ilmu-ilmu pengetahuan dan keterampilan pendukungnya. Sebab, banyak Hadits Nabi yang mengacu pada hal ini, misalnya; “Barang siapa yang menghendaki dunia, maka ia harus menguasai ilmunya, dan barang siapa yang menghendaki akhirat maka ia harus menguasai ilmunya, dan barang siapa yang menginginkan keduanya, maka ia harus juga menguasai ilmunya."(7)
Banyak persoalan yang menyangkut apa dan bagaimana hubungan manusia dengan alam semesta ini. Di balik perintah memanfaatkan alam, manusia juga dilarang memanfaatkannya secara berlebihan. Apalagi pada saat sekarang ini, perlu disebarluaskan isu tentang lingkungan, misalnya bahaya radiasi nuklir, sehingga orang mempunyai kesadaran dan berperilaku shalih, yang menyangkut kelestarian, kebersihan dan kesehatan lingkungan -suatu kesadaran yang bertumpu pada ajaran agama.
Banyak petunjuk agama yang mengisyaratkan perlunya menjaga keseimbangan kehidupan yang berwajah duniawi dan ukhrawi; yang artinya tidak harus mementingkan hidup dan kehidupan yang berwajah ukhrawi saja, lalu meninggalkan kehidupan yang duniawi. Sebab manusia hidup di dunia tentu membutuhkan apa saja yang bersifat duniawi dan kalau kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka manusia yang bersangkutan tidak bisa melakukan aktivitas yang bersifat ukhrawi dengan baik.
Sebaliknya seseorang pun tidak boleh mementingkan kehidupan yang berwajah duniawi lalu meninggalkan kehidupan ukhrawi. Orang yang demikian, hidupnya menjadi keras dan panas, terutama sisi ruhaniahnya. Orang yang mementingkan kehidupan duniawinya saja belum tentu bahagia dalam arti sesungguhnya. Sebab kebahagiaan yang ia capai hanya dari segi lahiriah, sedangkan yang dari sisi batiniah ia tidak bisa menikmati.
Untuk mengisi kehidupan yang seimbang antara duniawi dan ukhrawi itu, Allah memberi kewajiban-kewajiban yang mesti dilakukan manusia yang bersifat ukhrawi seperti tercemin dalam rukun Islam, di samping memberi kesempatan bahkan kewajiban untuk melakukan usaha yang berwajah duniawi seperti pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kehidupan Nabi, kecuali sebagai pemimpin kehidupan keagamaan, juga sebagai pemimpin kehidupan masyarakat, telah menjadi petunjuk untuk itu. Secara individual, Islam juga memerintahkan berusaha untuk mencukupi kehidupan ekonomi. Kata Nabi, "Apabila kamu telah selesai melakukan shalat fajar (subuh) maka jangan terus tidur lalu tidak berusaha mencari rezeki".(8) Secara ekstrem Khalifah Umar Ibn Khattab ra. berkata, "Jangan sekali-kali engkau duduk saja meninggalkan usaha mencari rezeki sembari berdo'a: ''Ya Allah, berilah kami rezeki", padahal eugkau mengetahui bahwa sesungguhnya langit itu tidak akan pernah memberi hujan emas dan perak".(9) Bahkan Islam melarang menganggur, seperti disampaikan oleh sebuah hadits Nabi, "Orang yang paling berat siksanya di hari kiamat, adalah orang yang dicukupi rezekinva tetapi ia menganggur".(10)
***
Kalau dilihat dari sejarah munculnya pesantren dan penerapan ajaran 'aqidah dan syari'ah pada masyarakat pendukungnya, tidaklah berlebihan apabila disebut, pesantren itu merupakan kesatuan dalam keragaman. Kesatuan dalam pemihakannya dalam Islam Sunni, kesatuan dalam misinya yaitu menyampaikan dakwah dan pesan keagamaan kepada masyarakatnya di samping lembaga yang menekuni tafaqquh fiddin. Namun pesantren beragam dalam cara, metoda, taktik dan strategi untuk melakukan dakwahnya. Bahkan dalam satu sisi dakwahnya sekalipun, seperti yang tercermin dalam pola pendidikannya.
Persoalan yang terakhir dapat dimengerti, karena dipengaruhi oleh pendiri pesantren dan masyarakat pendukungnya, atau salah satu dari dua faktor tersebut. Kedua faktor itu berkaitan dengan tantangan yang ada dan jawaban yang muncul. Bahkan hubungan saling mempengaruhi ini terus berlangsung pada periode pengasuh pengganti. Hanya saja pesantren itu sebenarnya sangat tergantung kepada pengasuh sebagai elemen yang paling esensial dan pemegang otoritas di pesantren.(11) Karena itu pula, arah, taktik, strategi, sistem dan organisasi pendidikan dalam pesantren sangat dipengaruhi oleh pengasuhnya.
Dalam kaitannya dengan upaya pengembangan masyarakat yang merupakan peningkatan peran pesantren ini,(12) respon para pengasuh pesantren pun menjadi beragam. Meskipun sebenarnya banyak nash al-Qur'an, Hadis atau Atsar para sahabat Nabi yang memberikan dorongan untuk melakukan usaha pembangunan kemasyarakatan seperti sudah dijelaskan pada permulaan tulisan ini. Memang ajaran tersebut tidak merupakan sesuatu yang baru, tetapi karena usaha pembangunan itu dianggap kegiatan baru, maka respon para pengasuh menjadi beragam.(13)
Sekali lagi hal tersebut tergantung kepada wawasan dan visi pengasuh pesantren tentang pengembangan masyarakat. Sebagai contoh dalam kasus ini, pada tahun 1984 BPPM Maslakul Huda Kajen, Pati bekerjasama dengan P3M mengajak 12 pesantren di Jawa Tengah, ternyata 3 dari jumlah itu (25 persen) tidak dapat menerima kegiatan pengembangan masyarakat dengan alasan yang tidak sama. Pada umumnya, alasan mereka tidak bisa melaksanakan kegiatan pengembangan masyarakat, karena misi pesantren adalah tafaqquh fiddin. Perluasan kegiatan di bidang kemasyarakatan selain dianggap asing, juga dikhawatirkan terabaikannya fungsi utama tersebut. Jadi antara tafaqquh fiddin dan pengembangan masyarakat belum dilihat kaitannya yang esensial, akibat dan belum lengkapnya informasi yang mereka terima tentang apa, bagaimana, mengapa pengembangan masyarakat itu, di samping belum banyaknya contoh kongkrit wujud pesantren yang melaksanakan pengembangan masyarakat.
Untuk menyebarkan ide, makna dan tujuan pengembangan masyarakat, barangkali lebih baik dkan dengan berkomunikasi secara lisan dengan para pengasuh pesantren. Dalam hal ini komunikasi tulis apakah lewat surat menyurat, penyebaran majalah atau buletin yang mempunyai pesan pengembangan masyarakat tidak cukup, mengingat budaya yang berkembang di pesantren masih kuat melalui komunikasi lisan.
***
Di banyak negara berkembang, strategi pembangunan yang mengutamakan pembangunan ekonomi dengan mengejar peningkatan pendapatan perkapita belaka, tidak bisa menyelesaikan masalah kemiskinan, pengangguran, kesenjangan antara kaya-miskin, antara sektor desa-kota; kecuali bila strategi tersebut dilengkapi dengan strategi yang mengarah pada pemerataan hasil pembangunan dan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat.(14)
Demikian pula kasus Indonesia, lebih-lebih pada dasawarsa delapan puluhan ini, di mana ekonomi Indonesia dilanda resesi, di samping masih dipengaruhi oleh berkurangnya penerimaan pendapatan negara dari sektor minyak. Maka dengan strategi yang kedua, (pemenuhan kebutuhan pokok) dirasa agak bisa mengurangi masalah kemiskinan, kesenjangan pendapatan dan pengangguran yang masih banyak dirasakan oleh sebagian besar penduduk Indonesia.
Namun sekali lagi, satu hal yang perlu diperhatikan adalah jumlah penduduk yang berkekurangan sangat besar, tersebar di beberapa daerah pedesaan, dengan adat istiadat yang tidak sama, serta permasalahan yang bermacam-macam, sehingga dalam kondisi yang demikian tidak dapat diterapkan kebijaksanaan sentral atau pendekatan teknokratis -meminjam istilah Ismed Hadad- yang hanya mengejar target, baik target waktu mau pun hasil riil. Sebab kondisi alam, dan budaya masyarakat satu daerah dengan yang lain sangat berbeda.
Dalam kondisi demikian lebih tepat apabila dilakukan pendekatan yang mengajak peran serta (partisipasi) masyarakat dalam proses pembangunan. Pendekatan ini harus dilakukan sejak awal melihat permasalahan mereka sendiri, merencanakan kegiatan yang dipilih dalam mengatasi permasalahan, melakukan kegiatannya dan mengevaluasi hasil kerja yang dilakukan.
Dengan demikian semua proses kegiatan akan disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di masyarakat. Masyarakat tidak saja menjadi obyek, tetapi menjadi subyek pembangunan yang pada sisi lain akan mengembangkan keswadayaan dan sumber daya yang ada di sekitar mereka.
Tidak dapat dielakkan memang, strategi pemenuhan kebutuhan pokok yang membutuhkan peran-serta memerlukan waktu, di samping itu fasilitas pemandu, baik orang-perorang atau lembaga yang dapat berperan sebagai motivator, fasilitator untuk memunculkan atau mengembangkan peran-serta, atau swadaya masyarakat. Sebab pada dasarnya strategi pendekatan ini intinya usaha penyadaran masyarakat agar mereka bisa mengembangkan sumber daya yang ada pada diri mereka, lingkungan dan alam sekitar.
Di sinilah pesantren dengan potensi sosial keagamaannya bisa melakukan peran sebagai lembaga pengembangan swadaya masyarakat, terutama melalui nilai-nilai keagamaan seperti kemandirian, keadilan, kerja sama dan sebagainya. Mengingat kebutuhan masyarakat itu selalu ada dan bahkan selalu berkembang, maka apabila pesantren bisa melakukan peran sebagai lembaga swadaya masyarakat, ia akan selalu mendapat tempat di masyarakat, bahkan bisa lebih mengembangkan potensi kemasyarakatan.
Selanjutnya bagi pesantren diperlukan syarat yang mendukungnya, antara lain: 1) Wawasan yang benar dari pengasuh pesantren tentang pengembangan masyarakat, di samping kepekaannya terhadap permasalahan yang berkembang, baik yang menyangkut sosial, politik, ekonomi, budaya dan sebagainya, dan 2) Tersedianya tenaga dari kalangan pesantren yang menjadi motivator pembangunan masyarakat dan yang mampu menjadi manager of resources yang ada di sekitarnya.
Sudah barang tentu apabila pesantren melakukan peran pengembangan swadaya masyarakat sebagai upaya untuk mengikuti petubahan sosial yang ada, ia tetap harus menjaga kelestarian fungsinya sebagai lembaga pendidikan dan keilmuan.
***
Dalam suatu makalah berjudul Pengaruh Pendidikan Agama Terhadap Kegiatan Sosial, Soedjatmoko (15) memberi kesimpulan, pendidikan agama akan dapat memenuhi suatu fungsi yang sangat penting dalam perkembangan sosial yang ada di Indonesia. 1). Berusaha memupuk beberapa sifat tertentu, di antaranya keberanian hidup, bersedia mandiri dan berinisiatif, peka terhadap hak dan keperluan manusia, sanggup kerjasama untuk kepentingan umum, di dalam proses perubahan sosial terus menerus, tanpa ketakutan akan perubahan itu sendiri. 2). Berusaha merangsang anak didik untuk mengamalkan ilmu mereka. 3). Berusaha memupuk motivasi yang kuat pada anak didik untuk mempelajari dan memahami kenyataan sosial yang terdapat di masyarakat. 4). Berusaha untuk berintegrasi dan bersinkronisasi dengan pendidikan non-agama.
Dari uraian terdahulu tulisan ini dan kesimpulan Soedjatmoko di atas dapat ditarik benang merah, pesantren yang melakukan pengembangan masyarakat punya prospek sebagai berikut:
1). Pesantren akan selalu dapat mengikuti perkembangan sosial, sebab dari segi visi, orientasi dan programnya ada pemihakan untuk mengembangkan masyarakat sekitarnya. Implikasi dari kepeduliannya terhadap permasalahan masyarakat ini, pesantren akan dapat memberi arah perkembangan masyarakat dari aspek sosial, budaya, politik dan ekonomi yang ditindaklanjuti dengan kerja nyata dalam rangka pemecahan permasalahan yang ditentukan di masyarakat. Sehingga kalau ada permasalahan yang menyimpang dari tujuan serta nilai dan ajaran yang dikembangkan, pesantren tidak saja memberikan keputusan halal-haram, tetapi melihat permasalahan lebih dahulu dan mencarikan jalan keluar, sehingga masyarakat tidak terperangkap dalam kegelapan dan keharaman terus.
2). Pesantren yang bersangkutan mempunyai laboatorium sosial, yaitu adanya kelompok-kelompok swadaya yang difasilitasi pesantren. Baik kelompok dalam bidang ekonomi seperti kelompok pedagang kecil, perajin; mau pun kelompok di bidang sosial seperti kelompok taman gizi, kelompok pemakai air, kelompok kesehatan, kelompok belajar, kelompok wanita produktif dan sebagainya.
Sejalan dengan dinamika masyarakat, kelompok swadaya ini tidak bisa berhenti, harus selalu mempunyai inisiatif untuk pengembangan kelompok mereka, baik dari segi jumlah anggota, kualitas, pelayanan, mau pun perluasan sasaran. Dan karena kelompok swadaya diprakarsai dan difasilitasi oleh pesantren, maka kelompok itu akan melakukan komunikasi dengan pesantren secara timbal balik. Proses interaksi ini tentu mempengaruhi wawasan santri, terutama para santri senior yang sudah mempunyai pemikiran tentang masalah-masalah sosial.
Pengembangan masyarakat yang menjadi wahana laboratorium sosial ini selanjutnya akan menjadi bahan untuk tambahan khazanah ilmu pengetahuan santri yang pada gilirannya akan menambah wawasan pemikiran, sehingga menambah kepekaan mereka terhadap masalah-masalah sosial. Di sinilah perlunya bagi perpustakaan pesantren sekarang ini untuk melengkapi bahan bacaan non-kitab, apakah buku-buku keterampilan, ilmu-ilmu sosial, majalah, koran dan lain-lain. Dengan demikian ada media bagi para santri untuk melengkapi ilmu pengetahuannya, tidak saja dalam ilmu agama, tapi juga ilmu non-agama, sehingga terjadilah proses interaksi antara keduanya.
Untuk menutup tulisan ini ada baiknya kita perhatikan identitas ulama menurut Imam Ghazali seperti yang terekam dalam Ihya Ulumuddin, "Setiap ulama adalah orang yang 'abid (ahli ibadah); zuhud, mengerti ilmu-ilmu akhirat; pengetahuannya diabdikan untuk Allah; peka, jeli dan paham benar akan kemaslahatan makhluk".
Dari ciri yang terakhir jelas sekali, apa yang seharusnya dilakukan oleh para ulama pengasuh pesantren dalam rangka membina umat. Bukan saja membina dalam kehidupan beragama, tapi juga kehidupan sosial ekonomi, serta membina kehidupan berbangsa dan bernegara.
***
Catatan Kaki:
  1. Sahal Mahfudh, Makalah Tenaga Pengembangan Masyarakat, 1984 (tidak dipublikasikan) hal. 63
  2. Mahmud Syaltut, Al-Islam 'Aqidah wa Syari'ah, Dar al-Qalam, cetakan ketiga, hal. 12
  3. Imam Suyuti, Mawahib al-Saniah, Muhammad Ibn Ahmad Ibn Nabhan, Surabaya, hal. 237
  4. Muhyiddin al-Nawawi, Riyadl al-Sholihin,hal. 142
  5. Muhammad Athiyah al-Ibrasyi, Ruh al-Islam, Daru Ihya’i Kutubi al-Arabiyyah, tanpa tahun, cetakan kedua, hal. 220
  6. Ibid
  7. Ibid, hal. 336
  8. Jami’ al-Shaghir, juz I hal. 30
  9. Al-Ibrasyi, Op. Cit., hal. 311
  10. Ibid., hal. 312
  11. Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, LP3ES, hal. 55. Profil Pesantren, LP3ES. hal. 112
  12. Profil Pesantren, LP3ES, hal. 112
  13. Ibid, hal. 79-80
  14. Ismed Hadad, Pembangunan Swadaya Masyarakat, dalam Prisma, April 1983 hal. 5-7
  15. Soedjatmoko, Pengaruh Pendidikan Agama Terhadap Kehidupan Sosial, dalam Etika Pembangunan, LP3ES, hal. 274~275

*) Tulisan ini pernah dimuat di Pesantren No: 2/Vol. IV/1987 dengan judul Pengembangan Masyarakat oleh Pesantren: Antara fungsi dan Tantangan. Juga bisa ditemukan di buku KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS)

Saturday, June 27, 2015

Islamisasi Budaya

Sungguh besar, luas, dan kaya Indonesia. Budaya yang dimiliki oleh indonesia merupakan kekayaan yang paling berharga, sehingga saya sering berfikiran bahwa atlantis yang hilang ditelan laut itu berada di indonesia. Sungguh bukan kebohongan bahwa kita memiliki aksara/tulisan sendiri, cuma karena terkikis oleh era global kita beralih pada tulisan latin yang mendunia, sehingga mungkin hanya orang tua yang hanya tau tulisan aksara kawi/jawa/ ataupun bugis (lontara).

Saat ini saya ingin membahas dan mendiskusikan proses islamisasi budaya yang ada di bumi nusantara, alasan saya cukup simple/sederhana,  yaitu saya berfikir kok bisa negara yang cukup luas, terdiri dari suku bangsa yang beragam dan bahasa yang berbeda dapat memeluk agama islam, yang tersebar dari jazirah arab yang jauhnya berjuta-juta mil. Ada apa ini?  negara yang dulunya hindu, budha, kapitayan. Tiba-tiba berubah menjadi negara yang mayoritas muslim?

Ya, itu karena bijaknya penyebar agama islam pada awal mulanya. Sebagian ahli sejarah bilang bahwa mereka adalah pedagang gujarat, tetapi ada juga yang bilang mereka adalah para sufi. Sejarah yang paling masyur dalam penyebaran agama islam adalah WALISONGO, ya mereka menggunakan pendekatan budaya dalam dakwahnya.
Sebut saja beberapa tradisi yang diISLAMISASIkan oleh Walisongo, dulu masyarakat nusantara biasa berkumpul melingkar, guna makan-makan, minum alkohol dan berbuat maksiat, sehingga walisongo memasukkan nilai islam, dengan acara kumpul melingkar membaca yasinan, plus makan-makannya tetap ada.Tidak sampai disitu, area seni seperti wayang, dan gamelan juga disisipi nilai islam, bayangkan dalam cerita asli MAHABARATA, pandawa dikisahkan 5 laki yang mengawini 1 perempuan ini adalah POLIANDRI di islam DILARANG, dengan adanya islamisasi budaya maka oleh kanjeng sunan kalijaga, ceritanya dirubah menjadi masing-masing pandawa memiliki istri.
Tidak sampai disitu, toleransi oleh walisongo tetap dijaga, misal di kudus-jawa tengah, masakan soto sampai sekarang tidak berbahan sapi, tetapi biasanay berasal dari kerbau, ya ditanya kenapa?? karena tolerannya walisongo pada penganut hindu yang menghormati/takdzim pada sapi.

Nah, itu tadi islamisasi di jawa, nah bagaimana di sulawesi? kita mulai dari sulawesi selatan.
Sulawesi selatan tidak kalah seru, jika membicarakan islamisasi di daerah ini. Sebut saja Syekh Yusuf Al Makassari, yang menanamkan nilai islam dibeberapa budaya, dulu di masyarakt sulawesi selatan, ketika berkumpul melingkar, sambil makan babi dan minum alkohol, dan membaca syair-syair ndag jelas, maka syekh menyisipkan, dengan mengganti syair-syair itu dengan pembacaan barazanji (syair-syair karangan Imam Ja'far Al Barazanji) yang berisi sejarah nabi, makan dan minumnya tetap ada tapi tentunya berlabel halal dong.Tidak sampai disitu untuk memperkenalkan, serta mendekatkan pada diri nabi sayyidina Muhammad, S. A. W maka para ulama mengadakan maulid yang dihiasi oleh telur, ya, hanya disulawesi acara maulid itu dihiasi oleh telur, kenapa? ya karena suku bugis dan makassar dipenuhi oleh dunia filsafat. Telur diacara maulid biasanya menandakan awal mula kehidupan.

Beberapa model islamisasi budaya diatas terkadang bagi mereka yang mengutamakan fiqih, biasa mengatakan "TIDAK BOLEH" hehehehe ya ya, itu wajar bagi saya :-). tetapi tahukah anda bahwa sebagian besar ulama diatas adalah selain fiqih mereka juga mendalam ilmu tasawwuf, sehingga dalam dakwahnya sangat merakyat dan dekat di hati masyarakat, sehingga sampai sekarang rasa dakwahnya tersimpan di kamus bahasa indonesia, dengan banyaknya kata serapan yang berasal dari bahasa arab.

Abah kyai semasa saya di pondok, saya perhatikan mengikuti pola dakwah para sufi, yang lebih bijaksana, dan merakyat. Menurut beliau "dakwah itu, kayak layangan, ketika angin kencang jangan langsung ditarik keras, kadang diolor dan ada waktunya ditarik keras", sekarang saya faham maksud beliau, bahwa dalam dakwah harus ada cinta dan pengetahuan, ya bener cinta, mari kita perhatikan layangan yang kita tarik keras pada saat angin kencang pasti akan putus, ya bener saja, kenapa kita tarik keras? mungkin karena supaya tidak kemana-mana (ini juga ada cinta, tapi tanpa pengetahuan), bagi mereka yang tahu bahwa setelah ada angin kencang pasti ada angin sepoy-sepoy :-) saya juga ingin mengutip kisah GusMus (K. H. A. Musthofa Bisri) dengan istri beliau di awal mengarungi bahtera rumah tangga, ya, istri beliau membuatkan opor yang kelapanya (santannya) cukup banyak, padahal Gusmus ndag suka makanan yang ada santannya ( ya ini karena ada cinta sehingga santannya cukup banyak, tetapi pengetahuannya istri beliau belumpenuh), ketika istri beliau memiliki pemahaman pada Gusmus sepenuhnya, maka hanya dengan sambel jeruk, pola makan Gusmus menjadi lahap.

Abah kyai pernah bilang, biasa ada di kolaka adat menyembelih ayam dan darahnya ditumpahkan ditanah sebelum jenazah diberangkatkan ke kuburan, kebetulan abah Kyai berada disana. Saya bertanya " kenapa tidak dilarang?, Beliau jawab" dalam dakwah harus perlahan-lahan", dan Akhirnya terbukti, orang yang pernah melakukan hal itu, saat ini sudah tidak pernah melakukannya. Saya bertanya" kok bisa, Bah? beliau jawab" ya kita dekati secara persuasif, setiap orang ketika disalahkan di depan khalayak ramai, maka hal yang baik pun akan terhalang oleh rasa malu, dan itu tidak hanya satu atau dua kali, tapi banyak kali kita dekati dengan persuasif".

Friday, June 26, 2015

Doa, Yasinan, Tahlilan, Kenduri untuk Mayit/Orang yang telah meninggal

Saya selalu bilang ke teman saya, bahwa ahlu sunnah wal jamaah itu, garis keilmuannya sudah teruji zaman. Sanad keilmuannya sampai pada rasulullah, berbeda dengan ilmu umum yang biasa tidak mempedulikan sanad keilmuan. Akhirnya, amalan-amalan yang telah diajarkan oleh Ulama Ahlu sunnah wal jamaah itu, insya Allah punya dalil.

Terkadang orang biasa menyalahkan karena belum memahami dalil yang melandasi amalan-amalan kita, karena mereka menganggap bahwa itu adalah perbuatan yang mengandung syirik. Padahal, Ulama Ahlu sunnah wal Jamaah adalah manusia-manusia yang sungguh berhati-hati dalam beragama, yang selalu mengikuti petunjuk nabi.

Oke, kesempatan ini, saya ingin berbagi ke teman2 yang biasa mengangungkan ulama-ulama wahabi seperti Al bani, Ibnu Baz, ataupun Ustmain (biasanya mereka menggunakan kata mulia didepan kata orang-orang terhormat itu dengan kata syekh ato imam, tetapi ketika memanggil nama nabi hanya menggunakan nama aslinya, berbeda dengan Masyarakat Ahlu sunnnah wal Jamaah, yang sering menggunakan Sayyidina/Tuan Kami didepan kata nabi Muhammad, S. A. W semoga berkahnya dilimpihkan kepada kita semua).

Kemarin saya habis baca web Fatwa Ulama Wahabi Abdul Aziz bin Baz, dalam fatwanya dia membolehkan untuk acara doa, yasinan, tahlilan, kenduri untuk orang yang meninggal yang biasa dilakukan oleh masyarakat Ahlu sunnah wal jamaah pada umumnya. Check di web nya http://www.binbaz.org.sa/node/2702.