Sunday, June 28, 2015

Pesantren dan Pengembangan Masyarakat



Oleh KH MA Sahal Mahfudh.





Pesantren sebagai lembaga pendidikan dan lembaga sosial keagamaan yang pengasuhnya juga menjadi pemimpin umat dan menjadi sumber rujukan umat dalam memberikan legitimasi terhadap tindakan warganya, sudah barang tentu mempunyai dasar pijakan yang bersifat keagamaan dalam melakukan tindakannya, terutama jika itu dianggap ''baru" oleh masyarakatnya. Hal tersebut, karena watak pimpinan keagamaan dan masyarakat pendukungnya yang fiqih oriented selalu meletakkan kegiatan yang dilakukan dalam pola hitam-putih atau salah-benar menuntut hukum Islam.
Salah satu kegiatan yang dianggap baru menurut kalangan masyarakat pesantren adalah pengembangan masyarakat, setidaknya kalau dilihat secara kultural dari misi utama pesatren, serta porsi kegiatannya secara global, dalam bidang pendidikan. Sedangkan pengembangan masyarakat, meskipun selama ini sudah dilakukan, hanya bersifat sporadis. Kegiatan pengembangan masyarakat belum dilakukan pesantren secara kelembagaan, di samping tanpa disertai visi yang jelas, serta perangkat pendukungnya yang memadai.
Sementara itu pengembangan masyarakat yang bermuara pada peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat dengan pendekatan kebutuhan dan permasalahan masyarakat sebagai subyek atau obyek, sedangkan kebutuhan masyarakat itu selalu berkembang dan permasalahan masyarakat pun hampir tidak pernah absen di semua lapisan masyarakat, baik secara moril mau pun materiil, maka sesungguhnya pengembangan masyarakat akan selalu mendapat tempat sepanjang masa di masyarakat mana pun, baik kota mau pun desa, yang masih bersifat agararis mau pun masyarakat industri.
Namun kalau pesantren ingin berhasil dalam melakukan pengembangan masyarakat yang salah satu dimensinya adalah pengembangan semua sumber daya, maka pesantren harus melengkapi dirinya dengan tenaga yang terampil mengelola sumber daya. yang ada di lingkungannya, di samping syarat lain yang diperlukan untuk berhasilnya pengembangan masyarakat. Sudah barang tentu, pesantren harus tetap menjaga potensinya sebagai lembaga pendidikan.
Pesantren yang mampu mengembangkan dua potensinya, yaitu potensi pendidikan dan potensi kemasyarakatan, bisa diharapkan melahirkan ulama yang tidak saja dalam ilmu pengetahuan keagamaannya, luas wawasan pengetahuan dan cakrawala pemikirannya, tetapi juga mampu memenuhi tuntutan zamannya dalam rangka pemecahan persoalan kemasyarakatan.
***
Untuk meletakkan pengembangan masyarakat atau pembangunan dalam dimensi agama, terlebih dulu perlu dilihat kaitan kewajiban seorang muslim yang telah siap menerima amanat atau tanggung jawab dari Allah SWT. Untuk itu di samping memberi ajaran yang tertuang dalam bentuk Al-Qur’an dan Hadits sebagai pedoman hidup, Allah menciptakan manusia terdiri atas lima komponen(1): (1). Jasad, (2). Akal, (3). Perasaan, (4). Nafsu, (5). Ruh.
Dari terkumpulnya lima komponen itu, manusia mempunyai dua potensi atau kemampuan, yaitu pertama kemampuan fisik (quwwah 'amaliyah) atau kemampuan untuk melakukan kerja, yang kedua, kemampuan berpikir (quwwah nadhariyah). Kemampuan berpikir ini sehat, bila akal, perasaan dan nafsu berjalan sekaligus. Berpikir tanpa menggunakan akal akan menjadikan seseorang emosi. Maka atas dasar kemampuan yang diberikan oleh Allah di atas, manusia mempunyai tanggung jawab melaksanakan peritahNya dan meninggalkan laranganNya secara simultan.
Mahmud Syaltut melihat bahwa ajaran Islam itu pada dasarnya dibagi dua komponen pokok, yaitu 'aqidah dan syari’ah.(2) Dalam menghampiri masalah ‘aqidah yang menyangkut aspek kepercayaan manusia banyak dituntut menggunakan kemampuan berpikir. Dalam menghampiri masalah syan'ah yang menyangkut aspek perilaku, manusia dituntut banyak menggunakan kemampuan fisik.
Dari aspek syari'ah yang mengatur hubungan manusia inilah pada dasarnya lahir taklif, yang mesti dilakukan manusia dalam menjalin hubungan dengan empat macam sasaran terjadinya proses pembangunan atau pengembangan masyarakat. Empat macam sasaran dimaksud tidak bisa diabaikan dan dipisahkan salah satu dari yang lainnya, sebab dengan mengabaikannya akan terjadi ketidakseimbangan kehidupan seseorang. Atau dengan ungkapan lain, kehidupan seseorang yang mengabaikan salah satu hubungan dari empat macam sasaran tersebut tidak akan mencapai hasanah di dalam kehidupan dunia kini atau hasanah di dalam kehidupan akhirat kelak, di mana keduanya menjadi tujuan akhir kehidupan seseorang beragama.
Adalah tidak mungkin mengetengahkan semua dasar-dasar agama yang menjadi pangkal tolak para tokoh Islam, khususnya para pengasuh pesantren dalam melakukan kegiatan pengembangan masyarakat baik yang bersumber dari nash-nash Al-Qur’an, Hadits, mau pun Atsar (pendapat, atau perilaku para sahabat Nabi). Sesuai dengan alur pemikiran yang membagi syari'ah kepada empat macam hubungan manusia, maka ada baiknya di sini diketengahkan dasar-dasar keagamaan dengan empat pola hubungan yang mendorong para pengasuh pesantren (setidaknya kami sendiri) untuk melakukan pengembangan masyarakat.
***
Seperti dijelaskan di atas bahwa aspek syari'ah merupakan perwujudan dari aspek 'aqidah. Dengan kata lain, sebagai orang yang percaya kepada Allah, ia harus melakukan perintahNya dan menjauhkan laranganNya. Aturan mengenai "perintah dan larangan" yang mendasari hubungan manusia dengan Allah, disebut ‘ibadah, yaitu upaya seseorang dalam rangka mendekatkan diri pada Allah. Ibadah ini ada dua macam, pertama, ibadah yang bersifat qoshirah, yaitu ibadah yang manfaatnya kembali kepada pribadinya sendiri. Kedua, ibadah muta'addiyah yang bersifat sosial. Ibadah sosial ini manfaatnya menitikberatkan pada kepentingan umum. Dalam kaidah fiqih(3) disebutkan: Ibadah yang bermanfaat kepada orang lain lebih utama daripada ibadah yang manfaatnya hanya kepada diri sendiri".
Akan tetapi dalam hal ini tidak bisa diartikan, lebih baik beribadah yang muta'addiyah saja, dan ibadah yang qashirah kita tinggalkan. Kecuali apabila terjadi keadaan yang dilematis (ta'arudl) antara ibadah qoshirah dan ibadah muta'addiyah diutamakan untuk memilih muta'addiyah sepanjang yang qashirah tidak berupa fardlu 'ain. Dalam kaitan ini pula perlu diketengahkan bahwa pada dasarnya setiap manusia adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban (di hadapan Allah) seperti disampaikan Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadits(4), yang artinya: "Kamu semua adalah penanggung jawab, dan akan dimintai pertanggunjawaban atas yang dipercayakan padamu". Sudah barang tentu setiap pemimpin diharapkan melakukan tanggung jawab sebaik-baiknya, sehingga orang yang dipimpin, orang yang diasuh, bisa menikmati kehidupan, menikmati kemerdekaan dan sebagainya.
Hadits di atas juga berkaitan dengan firman Allah dalam Al-Qur’an yang mengatakan bahwa, Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi dengan firmanNya yang artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat; Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata, "Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi, orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman, "Sesungguhya Aku mengetahui yang tidak kamu ketahui".
Dari sini bisa dipahami, bahwa tugas kekhalifahan manusia di bumi ini sebenarnya agar manusia berbuat baik di atas bumi tidak merusak, baik merusak kehidupan, lingkungan atau tatanan yang ada. Dengan demikian sebenamya kuatlah dasar dan motivasi pengasuh pesantren untuk melakukan kerja membangun, baik untuk dirinya sendiri, keluarganya mau pun masyarakat. Sebab agama memberi wahana ibadah yang bersifat individual, di samping wahana ibadah yang bersifat sosial. Dan keduanya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah untuk mencari ridlaNya dalam arti melakukan tanggung jawab di hadapanNya.
***
Islam mengatur hubungan antar manusia, baik antar muslim dengan muslim, atau muslim dengan non-muslim. Apakah antara kedua belah pihak ada hubungan kekerabatan persaudaraan, atau hubungan sosial. Dengan demikian satu sama lain saling mengakui keberadaannya. Nabi memberikan dorongan perlunya memperhatikan damemecahkan masalah yang menimpa umat Islam, sebagai berikut: “Barang siapa yang tidak memperhatikan urusan umat Islam, tidak termasuk golongan mereka".(5)
Lebih lanjut untuk memberi gambaran betapa perlunya pemimpin umat agar selalu memperhatikan nasib dan kehidupan kaum dlu'afa, ada baiknya diketengahkan surat Khalifah Umar Ibn Khattab RA kepada Mu’awiyah ibn Abi Sufyan, “Hendaknya engkau takut, jangan sampai menjauhi masyarakat, dan dekati mereka yang dla’if bahkan mereka yang di bawahnya, dan berilah mereka kesempatan untuk menyampaikan pendapat, sehingga luaslah kesempatan mereka untuk berbicara, kenalilah orang asing karena apabila mereka ditekan, lemahlah pemikirannya dan meninggalkan haknya".(6) Surat ini memberikan kesan agar para pemimpin umat selalu memikirkan keadaan masyarakat, mengetahui keadaan mereka, memberi kesempatan mereka untuk menyampaikan pendapat, agar dengan demikian terbuka pula kesempatan untuk pengembangan diri mereka dan pengembangan potensi manusiawinya.
Kalau melihat permasalahan orang desa di sekitar pesantren, yang pada umumnya pesantren berada di daerah pedesaan, banyak masyarakat desa dililit oleh permasalahan yang kompleks, seperti pendapatan rendah, ketidakmampuan membiayai pendidikan anak, ketidakberdayaan mereka untuk mendapatkan hak-hak yang asasi, lebih-lebih kalau mereka berhadapan dengan kekuatan yang lebih besar seperti kekuatan negara, mereka tak berdaya. Hanya saja karena penduduk desa ini sudah terbiasa dengan serba kesulitan, maka masalah yang mereka derita tidak dirasakan sebagai masalah, padahal orang lain melihatnya sebagai masalah serius yang perlu segera diatasi. Di sinilah kewajiban para pengasuh pesantren sebagai pemimpin umat untuk memperhatikan permasalahan umat tersebut.
***
Pada prinsipnya manusia diberi kebebasan berpikir tentang alam, di samping memanfaatkannya untuk diri sendiri atau kepentingan bersama. Bahkan dalam al-Qur’an surat Huud ayat 61, Allah berfirman, “Dia (Allah) telah menciptakan kalian dari tanah dan menuntut kalian membangun (memakmurkan) di atasnya". Setidaknya dari ayat yang diperintahkan Allah di atas, memberi himbauan kepada hambaNya, untuk meramaikan bumi atau membangun di atas bumi ini. Jelas perintah di sini adalah untuk berbuat baik, bukan sebaliknya, untuk melakukan kerusakan seperti yang dikhawatirkan para malaikat dalam dialognya dengan Allah dalam menanggapi proses awal penciptaan manusia.
Kewajiban membangun di atas bumi yang berwajah duniawi ini tentu perlu dilengkapi ilmu-ilmu pengetahuan dan keterampilan pendukungnya. Sebab, banyak Hadits Nabi yang mengacu pada hal ini, misalnya; “Barang siapa yang menghendaki dunia, maka ia harus menguasai ilmunya, dan barang siapa yang menghendaki akhirat maka ia harus menguasai ilmunya, dan barang siapa yang menginginkan keduanya, maka ia harus juga menguasai ilmunya."(7)
Banyak persoalan yang menyangkut apa dan bagaimana hubungan manusia dengan alam semesta ini. Di balik perintah memanfaatkan alam, manusia juga dilarang memanfaatkannya secara berlebihan. Apalagi pada saat sekarang ini, perlu disebarluaskan isu tentang lingkungan, misalnya bahaya radiasi nuklir, sehingga orang mempunyai kesadaran dan berperilaku shalih, yang menyangkut kelestarian, kebersihan dan kesehatan lingkungan -suatu kesadaran yang bertumpu pada ajaran agama.
Banyak petunjuk agama yang mengisyaratkan perlunya menjaga keseimbangan kehidupan yang berwajah duniawi dan ukhrawi; yang artinya tidak harus mementingkan hidup dan kehidupan yang berwajah ukhrawi saja, lalu meninggalkan kehidupan yang duniawi. Sebab manusia hidup di dunia tentu membutuhkan apa saja yang bersifat duniawi dan kalau kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka manusia yang bersangkutan tidak bisa melakukan aktivitas yang bersifat ukhrawi dengan baik.
Sebaliknya seseorang pun tidak boleh mementingkan kehidupan yang berwajah duniawi lalu meninggalkan kehidupan ukhrawi. Orang yang demikian, hidupnya menjadi keras dan panas, terutama sisi ruhaniahnya. Orang yang mementingkan kehidupan duniawinya saja belum tentu bahagia dalam arti sesungguhnya. Sebab kebahagiaan yang ia capai hanya dari segi lahiriah, sedangkan yang dari sisi batiniah ia tidak bisa menikmati.
Untuk mengisi kehidupan yang seimbang antara duniawi dan ukhrawi itu, Allah memberi kewajiban-kewajiban yang mesti dilakukan manusia yang bersifat ukhrawi seperti tercemin dalam rukun Islam, di samping memberi kesempatan bahkan kewajiban untuk melakukan usaha yang berwajah duniawi seperti pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kehidupan Nabi, kecuali sebagai pemimpin kehidupan keagamaan, juga sebagai pemimpin kehidupan masyarakat, telah menjadi petunjuk untuk itu. Secara individual, Islam juga memerintahkan berusaha untuk mencukupi kehidupan ekonomi. Kata Nabi, "Apabila kamu telah selesai melakukan shalat fajar (subuh) maka jangan terus tidur lalu tidak berusaha mencari rezeki".(8) Secara ekstrem Khalifah Umar Ibn Khattab ra. berkata, "Jangan sekali-kali engkau duduk saja meninggalkan usaha mencari rezeki sembari berdo'a: ''Ya Allah, berilah kami rezeki", padahal eugkau mengetahui bahwa sesungguhnya langit itu tidak akan pernah memberi hujan emas dan perak".(9) Bahkan Islam melarang menganggur, seperti disampaikan oleh sebuah hadits Nabi, "Orang yang paling berat siksanya di hari kiamat, adalah orang yang dicukupi rezekinva tetapi ia menganggur".(10)
***
Kalau dilihat dari sejarah munculnya pesantren dan penerapan ajaran 'aqidah dan syari'ah pada masyarakat pendukungnya, tidaklah berlebihan apabila disebut, pesantren itu merupakan kesatuan dalam keragaman. Kesatuan dalam pemihakannya dalam Islam Sunni, kesatuan dalam misinya yaitu menyampaikan dakwah dan pesan keagamaan kepada masyarakatnya di samping lembaga yang menekuni tafaqquh fiddin. Namun pesantren beragam dalam cara, metoda, taktik dan strategi untuk melakukan dakwahnya. Bahkan dalam satu sisi dakwahnya sekalipun, seperti yang tercermin dalam pola pendidikannya.
Persoalan yang terakhir dapat dimengerti, karena dipengaruhi oleh pendiri pesantren dan masyarakat pendukungnya, atau salah satu dari dua faktor tersebut. Kedua faktor itu berkaitan dengan tantangan yang ada dan jawaban yang muncul. Bahkan hubungan saling mempengaruhi ini terus berlangsung pada periode pengasuh pengganti. Hanya saja pesantren itu sebenarnya sangat tergantung kepada pengasuh sebagai elemen yang paling esensial dan pemegang otoritas di pesantren.(11) Karena itu pula, arah, taktik, strategi, sistem dan organisasi pendidikan dalam pesantren sangat dipengaruhi oleh pengasuhnya.
Dalam kaitannya dengan upaya pengembangan masyarakat yang merupakan peningkatan peran pesantren ini,(12) respon para pengasuh pesantren pun menjadi beragam. Meskipun sebenarnya banyak nash al-Qur'an, Hadis atau Atsar para sahabat Nabi yang memberikan dorongan untuk melakukan usaha pembangunan kemasyarakatan seperti sudah dijelaskan pada permulaan tulisan ini. Memang ajaran tersebut tidak merupakan sesuatu yang baru, tetapi karena usaha pembangunan itu dianggap kegiatan baru, maka respon para pengasuh menjadi beragam.(13)
Sekali lagi hal tersebut tergantung kepada wawasan dan visi pengasuh pesantren tentang pengembangan masyarakat. Sebagai contoh dalam kasus ini, pada tahun 1984 BPPM Maslakul Huda Kajen, Pati bekerjasama dengan P3M mengajak 12 pesantren di Jawa Tengah, ternyata 3 dari jumlah itu (25 persen) tidak dapat menerima kegiatan pengembangan masyarakat dengan alasan yang tidak sama. Pada umumnya, alasan mereka tidak bisa melaksanakan kegiatan pengembangan masyarakat, karena misi pesantren adalah tafaqquh fiddin. Perluasan kegiatan di bidang kemasyarakatan selain dianggap asing, juga dikhawatirkan terabaikannya fungsi utama tersebut. Jadi antara tafaqquh fiddin dan pengembangan masyarakat belum dilihat kaitannya yang esensial, akibat dan belum lengkapnya informasi yang mereka terima tentang apa, bagaimana, mengapa pengembangan masyarakat itu, di samping belum banyaknya contoh kongkrit wujud pesantren yang melaksanakan pengembangan masyarakat.
Untuk menyebarkan ide, makna dan tujuan pengembangan masyarakat, barangkali lebih baik dkan dengan berkomunikasi secara lisan dengan para pengasuh pesantren. Dalam hal ini komunikasi tulis apakah lewat surat menyurat, penyebaran majalah atau buletin yang mempunyai pesan pengembangan masyarakat tidak cukup, mengingat budaya yang berkembang di pesantren masih kuat melalui komunikasi lisan.
***
Di banyak negara berkembang, strategi pembangunan yang mengutamakan pembangunan ekonomi dengan mengejar peningkatan pendapatan perkapita belaka, tidak bisa menyelesaikan masalah kemiskinan, pengangguran, kesenjangan antara kaya-miskin, antara sektor desa-kota; kecuali bila strategi tersebut dilengkapi dengan strategi yang mengarah pada pemerataan hasil pembangunan dan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat.(14)
Demikian pula kasus Indonesia, lebih-lebih pada dasawarsa delapan puluhan ini, di mana ekonomi Indonesia dilanda resesi, di samping masih dipengaruhi oleh berkurangnya penerimaan pendapatan negara dari sektor minyak. Maka dengan strategi yang kedua, (pemenuhan kebutuhan pokok) dirasa agak bisa mengurangi masalah kemiskinan, kesenjangan pendapatan dan pengangguran yang masih banyak dirasakan oleh sebagian besar penduduk Indonesia.
Namun sekali lagi, satu hal yang perlu diperhatikan adalah jumlah penduduk yang berkekurangan sangat besar, tersebar di beberapa daerah pedesaan, dengan adat istiadat yang tidak sama, serta permasalahan yang bermacam-macam, sehingga dalam kondisi yang demikian tidak dapat diterapkan kebijaksanaan sentral atau pendekatan teknokratis -meminjam istilah Ismed Hadad- yang hanya mengejar target, baik target waktu mau pun hasil riil. Sebab kondisi alam, dan budaya masyarakat satu daerah dengan yang lain sangat berbeda.
Dalam kondisi demikian lebih tepat apabila dilakukan pendekatan yang mengajak peran serta (partisipasi) masyarakat dalam proses pembangunan. Pendekatan ini harus dilakukan sejak awal melihat permasalahan mereka sendiri, merencanakan kegiatan yang dipilih dalam mengatasi permasalahan, melakukan kegiatannya dan mengevaluasi hasil kerja yang dilakukan.
Dengan demikian semua proses kegiatan akan disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di masyarakat. Masyarakat tidak saja menjadi obyek, tetapi menjadi subyek pembangunan yang pada sisi lain akan mengembangkan keswadayaan dan sumber daya yang ada di sekitar mereka.
Tidak dapat dielakkan memang, strategi pemenuhan kebutuhan pokok yang membutuhkan peran-serta memerlukan waktu, di samping itu fasilitas pemandu, baik orang-perorang atau lembaga yang dapat berperan sebagai motivator, fasilitator untuk memunculkan atau mengembangkan peran-serta, atau swadaya masyarakat. Sebab pada dasarnya strategi pendekatan ini intinya usaha penyadaran masyarakat agar mereka bisa mengembangkan sumber daya yang ada pada diri mereka, lingkungan dan alam sekitar.
Di sinilah pesantren dengan potensi sosial keagamaannya bisa melakukan peran sebagai lembaga pengembangan swadaya masyarakat, terutama melalui nilai-nilai keagamaan seperti kemandirian, keadilan, kerja sama dan sebagainya. Mengingat kebutuhan masyarakat itu selalu ada dan bahkan selalu berkembang, maka apabila pesantren bisa melakukan peran sebagai lembaga swadaya masyarakat, ia akan selalu mendapat tempat di masyarakat, bahkan bisa lebih mengembangkan potensi kemasyarakatan.
Selanjutnya bagi pesantren diperlukan syarat yang mendukungnya, antara lain: 1) Wawasan yang benar dari pengasuh pesantren tentang pengembangan masyarakat, di samping kepekaannya terhadap permasalahan yang berkembang, baik yang menyangkut sosial, politik, ekonomi, budaya dan sebagainya, dan 2) Tersedianya tenaga dari kalangan pesantren yang menjadi motivator pembangunan masyarakat dan yang mampu menjadi manager of resources yang ada di sekitarnya.
Sudah barang tentu apabila pesantren melakukan peran pengembangan swadaya masyarakat sebagai upaya untuk mengikuti petubahan sosial yang ada, ia tetap harus menjaga kelestarian fungsinya sebagai lembaga pendidikan dan keilmuan.
***
Dalam suatu makalah berjudul Pengaruh Pendidikan Agama Terhadap Kegiatan Sosial, Soedjatmoko (15) memberi kesimpulan, pendidikan agama akan dapat memenuhi suatu fungsi yang sangat penting dalam perkembangan sosial yang ada di Indonesia. 1). Berusaha memupuk beberapa sifat tertentu, di antaranya keberanian hidup, bersedia mandiri dan berinisiatif, peka terhadap hak dan keperluan manusia, sanggup kerjasama untuk kepentingan umum, di dalam proses perubahan sosial terus menerus, tanpa ketakutan akan perubahan itu sendiri. 2). Berusaha merangsang anak didik untuk mengamalkan ilmu mereka. 3). Berusaha memupuk motivasi yang kuat pada anak didik untuk mempelajari dan memahami kenyataan sosial yang terdapat di masyarakat. 4). Berusaha untuk berintegrasi dan bersinkronisasi dengan pendidikan non-agama.
Dari uraian terdahulu tulisan ini dan kesimpulan Soedjatmoko di atas dapat ditarik benang merah, pesantren yang melakukan pengembangan masyarakat punya prospek sebagai berikut:
1). Pesantren akan selalu dapat mengikuti perkembangan sosial, sebab dari segi visi, orientasi dan programnya ada pemihakan untuk mengembangkan masyarakat sekitarnya. Implikasi dari kepeduliannya terhadap permasalahan masyarakat ini, pesantren akan dapat memberi arah perkembangan masyarakat dari aspek sosial, budaya, politik dan ekonomi yang ditindaklanjuti dengan kerja nyata dalam rangka pemecahan permasalahan yang ditentukan di masyarakat. Sehingga kalau ada permasalahan yang menyimpang dari tujuan serta nilai dan ajaran yang dikembangkan, pesantren tidak saja memberikan keputusan halal-haram, tetapi melihat permasalahan lebih dahulu dan mencarikan jalan keluar, sehingga masyarakat tidak terperangkap dalam kegelapan dan keharaman terus.
2). Pesantren yang bersangkutan mempunyai laboatorium sosial, yaitu adanya kelompok-kelompok swadaya yang difasilitasi pesantren. Baik kelompok dalam bidang ekonomi seperti kelompok pedagang kecil, perajin; mau pun kelompok di bidang sosial seperti kelompok taman gizi, kelompok pemakai air, kelompok kesehatan, kelompok belajar, kelompok wanita produktif dan sebagainya.
Sejalan dengan dinamika masyarakat, kelompok swadaya ini tidak bisa berhenti, harus selalu mempunyai inisiatif untuk pengembangan kelompok mereka, baik dari segi jumlah anggota, kualitas, pelayanan, mau pun perluasan sasaran. Dan karena kelompok swadaya diprakarsai dan difasilitasi oleh pesantren, maka kelompok itu akan melakukan komunikasi dengan pesantren secara timbal balik. Proses interaksi ini tentu mempengaruhi wawasan santri, terutama para santri senior yang sudah mempunyai pemikiran tentang masalah-masalah sosial.
Pengembangan masyarakat yang menjadi wahana laboratorium sosial ini selanjutnya akan menjadi bahan untuk tambahan khazanah ilmu pengetahuan santri yang pada gilirannya akan menambah wawasan pemikiran, sehingga menambah kepekaan mereka terhadap masalah-masalah sosial. Di sinilah perlunya bagi perpustakaan pesantren sekarang ini untuk melengkapi bahan bacaan non-kitab, apakah buku-buku keterampilan, ilmu-ilmu sosial, majalah, koran dan lain-lain. Dengan demikian ada media bagi para santri untuk melengkapi ilmu pengetahuannya, tidak saja dalam ilmu agama, tapi juga ilmu non-agama, sehingga terjadilah proses interaksi antara keduanya.
Untuk menutup tulisan ini ada baiknya kita perhatikan identitas ulama menurut Imam Ghazali seperti yang terekam dalam Ihya Ulumuddin, "Setiap ulama adalah orang yang 'abid (ahli ibadah); zuhud, mengerti ilmu-ilmu akhirat; pengetahuannya diabdikan untuk Allah; peka, jeli dan paham benar akan kemaslahatan makhluk".
Dari ciri yang terakhir jelas sekali, apa yang seharusnya dilakukan oleh para ulama pengasuh pesantren dalam rangka membina umat. Bukan saja membina dalam kehidupan beragama, tapi juga kehidupan sosial ekonomi, serta membina kehidupan berbangsa dan bernegara.
***
Catatan Kaki:
  1. Sahal Mahfudh, Makalah Tenaga Pengembangan Masyarakat, 1984 (tidak dipublikasikan) hal. 63
  2. Mahmud Syaltut, Al-Islam 'Aqidah wa Syari'ah, Dar al-Qalam, cetakan ketiga, hal. 12
  3. Imam Suyuti, Mawahib al-Saniah, Muhammad Ibn Ahmad Ibn Nabhan, Surabaya, hal. 237
  4. Muhyiddin al-Nawawi, Riyadl al-Sholihin,hal. 142
  5. Muhammad Athiyah al-Ibrasyi, Ruh al-Islam, Daru Ihya’i Kutubi al-Arabiyyah, tanpa tahun, cetakan kedua, hal. 220
  6. Ibid
  7. Ibid, hal. 336
  8. Jami’ al-Shaghir, juz I hal. 30
  9. Al-Ibrasyi, Op. Cit., hal. 311
  10. Ibid., hal. 312
  11. Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, LP3ES, hal. 55. Profil Pesantren, LP3ES. hal. 112
  12. Profil Pesantren, LP3ES, hal. 112
  13. Ibid, hal. 79-80
  14. Ismed Hadad, Pembangunan Swadaya Masyarakat, dalam Prisma, April 1983 hal. 5-7
  15. Soedjatmoko, Pengaruh Pendidikan Agama Terhadap Kehidupan Sosial, dalam Etika Pembangunan, LP3ES, hal. 274~275

*) Tulisan ini pernah dimuat di Pesantren No: 2/Vol. IV/1987 dengan judul Pengembangan Masyarakat oleh Pesantren: Antara fungsi dan Tantangan. Juga bisa ditemukan di buku KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS)

Saturday, June 27, 2015

Islamisasi Budaya

Sungguh besar, luas, dan kaya Indonesia. Budaya yang dimiliki oleh indonesia merupakan kekayaan yang paling berharga, sehingga saya sering berfikiran bahwa atlantis yang hilang ditelan laut itu berada di indonesia. Sungguh bukan kebohongan bahwa kita memiliki aksara/tulisan sendiri, cuma karena terkikis oleh era global kita beralih pada tulisan latin yang mendunia, sehingga mungkin hanya orang tua yang hanya tau tulisan aksara kawi/jawa/ ataupun bugis (lontara).

Saat ini saya ingin membahas dan mendiskusikan proses islamisasi budaya yang ada di bumi nusantara, alasan saya cukup simple/sederhana,  yaitu saya berfikir kok bisa negara yang cukup luas, terdiri dari suku bangsa yang beragam dan bahasa yang berbeda dapat memeluk agama islam, yang tersebar dari jazirah arab yang jauhnya berjuta-juta mil. Ada apa ini?  negara yang dulunya hindu, budha, kapitayan. Tiba-tiba berubah menjadi negara yang mayoritas muslim?

Ya, itu karena bijaknya penyebar agama islam pada awal mulanya. Sebagian ahli sejarah bilang bahwa mereka adalah pedagang gujarat, tetapi ada juga yang bilang mereka adalah para sufi. Sejarah yang paling masyur dalam penyebaran agama islam adalah WALISONGO, ya mereka menggunakan pendekatan budaya dalam dakwahnya.
Sebut saja beberapa tradisi yang diISLAMISASIkan oleh Walisongo, dulu masyarakat nusantara biasa berkumpul melingkar, guna makan-makan, minum alkohol dan berbuat maksiat, sehingga walisongo memasukkan nilai islam, dengan acara kumpul melingkar membaca yasinan, plus makan-makannya tetap ada.Tidak sampai disitu, area seni seperti wayang, dan gamelan juga disisipi nilai islam, bayangkan dalam cerita asli MAHABARATA, pandawa dikisahkan 5 laki yang mengawini 1 perempuan ini adalah POLIANDRI di islam DILARANG, dengan adanya islamisasi budaya maka oleh kanjeng sunan kalijaga, ceritanya dirubah menjadi masing-masing pandawa memiliki istri.
Tidak sampai disitu, toleransi oleh walisongo tetap dijaga, misal di kudus-jawa tengah, masakan soto sampai sekarang tidak berbahan sapi, tetapi biasanay berasal dari kerbau, ya ditanya kenapa?? karena tolerannya walisongo pada penganut hindu yang menghormati/takdzim pada sapi.

Nah, itu tadi islamisasi di jawa, nah bagaimana di sulawesi? kita mulai dari sulawesi selatan.
Sulawesi selatan tidak kalah seru, jika membicarakan islamisasi di daerah ini. Sebut saja Syekh Yusuf Al Makassari, yang menanamkan nilai islam dibeberapa budaya, dulu di masyarakt sulawesi selatan, ketika berkumpul melingkar, sambil makan babi dan minum alkohol, dan membaca syair-syair ndag jelas, maka syekh menyisipkan, dengan mengganti syair-syair itu dengan pembacaan barazanji (syair-syair karangan Imam Ja'far Al Barazanji) yang berisi sejarah nabi, makan dan minumnya tetap ada tapi tentunya berlabel halal dong.Tidak sampai disitu untuk memperkenalkan, serta mendekatkan pada diri nabi sayyidina Muhammad, S. A. W maka para ulama mengadakan maulid yang dihiasi oleh telur, ya, hanya disulawesi acara maulid itu dihiasi oleh telur, kenapa? ya karena suku bugis dan makassar dipenuhi oleh dunia filsafat. Telur diacara maulid biasanya menandakan awal mula kehidupan.

Beberapa model islamisasi budaya diatas terkadang bagi mereka yang mengutamakan fiqih, biasa mengatakan "TIDAK BOLEH" hehehehe ya ya, itu wajar bagi saya :-). tetapi tahukah anda bahwa sebagian besar ulama diatas adalah selain fiqih mereka juga mendalam ilmu tasawwuf, sehingga dalam dakwahnya sangat merakyat dan dekat di hati masyarakat, sehingga sampai sekarang rasa dakwahnya tersimpan di kamus bahasa indonesia, dengan banyaknya kata serapan yang berasal dari bahasa arab.

Abah kyai semasa saya di pondok, saya perhatikan mengikuti pola dakwah para sufi, yang lebih bijaksana, dan merakyat. Menurut beliau "dakwah itu, kayak layangan, ketika angin kencang jangan langsung ditarik keras, kadang diolor dan ada waktunya ditarik keras", sekarang saya faham maksud beliau, bahwa dalam dakwah harus ada cinta dan pengetahuan, ya bener cinta, mari kita perhatikan layangan yang kita tarik keras pada saat angin kencang pasti akan putus, ya bener saja, kenapa kita tarik keras? mungkin karena supaya tidak kemana-mana (ini juga ada cinta, tapi tanpa pengetahuan), bagi mereka yang tahu bahwa setelah ada angin kencang pasti ada angin sepoy-sepoy :-) saya juga ingin mengutip kisah GusMus (K. H. A. Musthofa Bisri) dengan istri beliau di awal mengarungi bahtera rumah tangga, ya, istri beliau membuatkan opor yang kelapanya (santannya) cukup banyak, padahal Gusmus ndag suka makanan yang ada santannya ( ya ini karena ada cinta sehingga santannya cukup banyak, tetapi pengetahuannya istri beliau belumpenuh), ketika istri beliau memiliki pemahaman pada Gusmus sepenuhnya, maka hanya dengan sambel jeruk, pola makan Gusmus menjadi lahap.

Abah kyai pernah bilang, biasa ada di kolaka adat menyembelih ayam dan darahnya ditumpahkan ditanah sebelum jenazah diberangkatkan ke kuburan, kebetulan abah Kyai berada disana. Saya bertanya " kenapa tidak dilarang?, Beliau jawab" dalam dakwah harus perlahan-lahan", dan Akhirnya terbukti, orang yang pernah melakukan hal itu, saat ini sudah tidak pernah melakukannya. Saya bertanya" kok bisa, Bah? beliau jawab" ya kita dekati secara persuasif, setiap orang ketika disalahkan di depan khalayak ramai, maka hal yang baik pun akan terhalang oleh rasa malu, dan itu tidak hanya satu atau dua kali, tapi banyak kali kita dekati dengan persuasif".

Friday, June 26, 2015

Doa, Yasinan, Tahlilan, Kenduri untuk Mayit/Orang yang telah meninggal

Saya selalu bilang ke teman saya, bahwa ahlu sunnah wal jamaah itu, garis keilmuannya sudah teruji zaman. Sanad keilmuannya sampai pada rasulullah, berbeda dengan ilmu umum yang biasa tidak mempedulikan sanad keilmuan. Akhirnya, amalan-amalan yang telah diajarkan oleh Ulama Ahlu sunnah wal jamaah itu, insya Allah punya dalil.

Terkadang orang biasa menyalahkan karena belum memahami dalil yang melandasi amalan-amalan kita, karena mereka menganggap bahwa itu adalah perbuatan yang mengandung syirik. Padahal, Ulama Ahlu sunnah wal Jamaah adalah manusia-manusia yang sungguh berhati-hati dalam beragama, yang selalu mengikuti petunjuk nabi.

Oke, kesempatan ini, saya ingin berbagi ke teman2 yang biasa mengangungkan ulama-ulama wahabi seperti Al bani, Ibnu Baz, ataupun Ustmain (biasanya mereka menggunakan kata mulia didepan kata orang-orang terhormat itu dengan kata syekh ato imam, tetapi ketika memanggil nama nabi hanya menggunakan nama aslinya, berbeda dengan Masyarakat Ahlu sunnnah wal Jamaah, yang sering menggunakan Sayyidina/Tuan Kami didepan kata nabi Muhammad, S. A. W semoga berkahnya dilimpihkan kepada kita semua).

Kemarin saya habis baca web Fatwa Ulama Wahabi Abdul Aziz bin Baz, dalam fatwanya dia membolehkan untuk acara doa, yasinan, tahlilan, kenduri untuk orang yang meninggal yang biasa dilakukan oleh masyarakat Ahlu sunnah wal jamaah pada umumnya. Check di web nya http://www.binbaz.org.sa/node/2702.


Monday, June 22, 2015

Telah terbit: Jurnal Ilmiah Al Mawaddah


Publikasi karya ilmiah menjadi agenda penting bagi para akademisi, bukan hanya sebagai prasyarat semata tetapi hal tersebut juga dilakukan untuk masa depan bangsa Indonesia.  “Kalau hasil penelitian hanya disimpan di perpustakaan, siapa yang berminat untuk membacanya? Apalagi dengan tebalnya halaman yang ada. Bisa-bisa, mau membaca saja malas,” Prof. Dr. Pratomo Widodo.

Oleh karenanya  untuk menjawab masalah ini, STAI Al Mawaddah Warrahamah menerbitkan Jurnal Ilmiah Al Mawaddah, semoga dapat mendukung dunia pendidikan pada khususnya, dan kemajuan masyarakat pada umumnya. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh pihak civitas akademik diharapakn dapat dibaca oleh khalayak ramai, sehingga dapat diaplikasikan dalam sendi kehidupan, baik dalam regulasi pemerintah kabupaten Kolaka ataupun yang laiinya
Jurnal Ilmiah Al Mawaddah

Etsss, jangan salah sangka. Waktu saya posting foto jurnal ini ke media sosial, banyak teman yang bertanya, apakah jurnal ini sudah terdaftar, Saya jawab" iya dong, sudah ter-DAFTAR lah :-). Ini buktinya, silahkan cek di web lipi.



Penetapan Zakat Fitrah dan Fidya Ramadhan 1436 H. / 2015 Masehi untuk wilayah kolaka dan sekitarnya (Berdasarkan fatwa MUI Kab. Kolaka)

KEPUTUSAN FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA KABUPATEN KOLAKA
Nomor : 007/Kpts-F-MUI/KLK/VI/2015
T E N T A N G
ZAKAT FITRAH & FIDYAH UNTUK WILAYAH KABUPATEN KOLAKA
TAHUN 1436 H. / 2015 M.
Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Kolaka Setelah :
MENIMBANG : 1. Bahwa Zakat Fitrah adalah Zakat yang wajib disebabkan berbuka dan puasa Ramadhan, atas setiap diri muslim yang merdeka, baik buat dirinya maupun buat keluarganya yang menjadi tanggungannya seperti istri dan anak- anaknya, begitupun khadam yang mengurus urusan rumah tangganya.
2. Bahwa Zakat fitrah yang wajib dikeluarkan adalah yang dianggap makanan pokok.
3. Bahwa bagi orang yang tidak berpuasa, orang yang telah tua rentah, baik laki-laki maupun perempuan, orang sakit yang telah tidak ada harapan akan sembuh dan orang yang tidak mendapatkan lapangan pekerjaan selain dan yang mereka lakukan, maka kepada mereka diberikan rukhsah (keringanan).
4. Bahwa bagi mereka yang diberikan rukhsah (keringanan), sebagai tebusannya mereka diwajibkan membayar fidyah, yaitu memberi makan satu orang miskin tiap hari.
5. Bahwa dalil syar’i menetapkan takaran zakat fitrah dengan ukuran sha’, yakni alat takar yang berlaku dinegeri Arab, sedang kebiasaan umum masyarakat dikabupaten Kolaka menakar memakai liter, sehingga dipandang perlu untuk menetapkan kadar dan ukuran sha’ dalam takaran liter yang biasa berlaku di masyarakat kabupaten kolaka.
MEMPERHATIKAN : Pendapat, Usulan dan saran dari peserta rapat dalam sidang Komisi Fatwa yang dihadiri pula oleh Pengurus Harian Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Kolaka, tanggal 28 Sya’ban 1436 H./ 16 Juni 2015 M.
MENGINGAT : 1. Firman Allah SWT :
۱

A r t i n y a :
Ambillah Zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan mereka, serta berdoalah untuk mereka, sesungguhnya do’a kamu itu menjadi ketentraman jiwa bagi mereka dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui.
(Qs. At Taubah : 103)
۲
A r t i n y a :
“… Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih,”
(Qs. At Taubah : 34)
٣
A r t i n y a :
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana
(Qs. At Taubah : 60)
2. Hadist Rasulullah SAW.
a. Diriwayatkan Abu Daud, Ibnu Madjah dan Al Darul Quthny
dari Ibnu Abbas ia berkata :
١ـ ﻓﺮﺾﺮﺳﻮﻝﺍﷲ ﺻﻠﻰﻋﻠﻴﻪ ﻭﺴﻠﻢ ﺯﻜﺎﺓﺍﻟﻔﻄﺭﻂﻬﺮﺓ ﻟﻠﺻﺎﺌﻢﻤﻥﺍﻟﻟﻐﻮﻭﺍﻟﺮﻓﺚ ﻭﻄﻌﻤﻪ ﻠﻠﻣﺴﺎﻜﻴﻦ ﻤﻦﺃﺪﺍﻫﺎﻘﺑﻞﺍﻠﺻﻼﺓ ﻓﻬﻲﺯﻜﺎﺓﻣﻘﺒﻮﻟﺔﻮﻣﻦﺃﺪﺍﻫﺎﺑﻌﺪﺍﻠﺼﻼﺓ ﻓﻬﻲﺻﺪﻗﺔﻣﻦﺍﻠﺻﺪﻗﺎﺕ
A r t i n y a :
“Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat untuk pensuci orang yang berpuasa dari segala perbuatan keji dan sia – sia dan untuk menjadi makanan bagi orang miskin, Barang siapa menunaikannya sebelum shalat, maka menjadilah ia zakat yang diterima. Dan barang siapa menunaikannya sesudah shalat menjadi lah ia suatu sedekah saja” ( HR. Abu Daud, Ibnu Madja dan Al Darul Quthny )
b. Diriwayatkan Oleh Ibnu Umar ra.
٢ـ ﻓﺭﺽﺮﺳﻮﻞﺍﷲ ﺻﻠﻰﺍﷲﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺯﻜﺎﺓﺍﻠﻔﻃﺮﺼﺎﻋﺎﻤﻦﺗﻣﺮﺃﻮﺻﺎﻋﺎﻤﻦﺷﻌﻴﺮﻋﻠﻰ
ﺍﻠﻌﺒﺪﻭﺍﺤﺮﻮﺍﻠﺫﻜﺮﻭﺍﻷﻨﺜﻰﻭﺍﻠﺻﻐﻴﺭﻭﺍﻠﻜﺒﻳﺭﻤﻥﺍﻠﻤﺳﻠﻤﻴﻦ
A r t i n y a :
“Rasulullah Saw telah mewajibakan zakat fitrah, yaitu mengeluarkan satu sha’ syair atas budak dan orang merdeka, laki – laki dan perempuan, kecil dan besar dari segenap orang Islam’
c. Diriwayatkan Al Darul Quthny dan Al Hakim dengan Isnad
yang Shahih, dari Ibnu Abbas ra. Berkata :
٣ ـ ﺮﺨﺺ ﻠﺷﻴﺦ ﺍﻠﻜﺒﻴﺭﺃﻦ ﯿﻔﻄﺮ ﻭﻳﻄﻌﻢ ﻋﻦ ﻜﻞ ﻣﺴﻜﻴﻨﺎﻮﻻﻘﺿﺎﺀﻋﻠﻳﻪ ﻭﻓﻰﺮﻭﺍﻳﺔﺍﻠﺒﺨﺎﺭﻯﻋﻦﻋﻃﺎﻘﺎﻞﺇﺒﻦ ﻋﺒﺎﺲﺍﻠﺷﻴﺦﺍﻠﻜﺒﻳﺮﻭﺍﻠﻣﺭﺃﺓﻤﻜﺎﻦﻜﻞﻴﻮﻢﻤﺴﻜﻴﻨﺎﻮﻜﺎﻨﻮﺍﻴﻤﻠﻜﻭﻦﺍﻠﻔﺪﻴﺔ
ﻮﺍﻟﺤﺑﻠﻰﻮﺍﻠﻤﺭﺿﻊﺇﺬﺍﺨﺎﻔﺘﺎ…ﻮﺍﻠﻣﺮﻴﺽﺍﻠﺬﻯﻻﻳﺭﺟﻰﺒﺮﻭﻩ
ﻋﻠﻰﺃﻨﻔﺴﻬﺎﻭﺃﻭﻻﺪﻫﺎﺃﻓﻂﺮﺘﺎﻭﻋﻠﻴﻬﻣﺎﺍﻠﻔﺪﻴﺔ ﻮﻻﻗﻀﺎﺀﻋﻠﻴﻬﺎ
A r t i n y a :
Diberikan keringanan bagi orang tua yang lanjut usia untuk berbuka dan untuk setiap harinya hendaknya memberi makan seorang fakir miskin dan tak perlu mengqadha. Dalam riwayat Bukhari dari ‘Atha ibnu Abbas berkata : ‘Bagi Orang Tua yang lanjut usia, baik laki – laki maupun wanita yang telah tidak sanggub berpuasa hendaknya memberi makan seorang fakir miskin untuk setiap hari, begitupun orang sakit yang tidak ada harapan akan sembuh lagi… demikian pula bagi wanita hamil dan menyusukan anak’ jika mereka khawatir akan dirinya dan keselamatan anaknya” mereka boleh berbuka dan membayar fidyah dan tidak perlu mengqadha puasa yang ditinggalkan”.
( HR. Al Darul Quthny dan Al Hakim)

M E M U T U S K A N
MENETAPKAN : FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA KABUPATEN KOLAKA TENTANG ZAKAT FITRAH DAN FIDYAH TAHUN 1436 H. / 2015 M.
Pertama : Kadar Zakat fitrah sebagai berikut :
1. Satu Sha’ beras sama dengan (+ 3,5 Liter bumbung) atau ( + 4 liter rata) beras perjiwa bagi orang yang mengkonsumsi makanan pokok beras atau dinilai beras perliter sejumlah Rp. 7.500,- (Tujuh Ribu Lima Ratus Rupiah) dan jumlah yang harus dikeluarkan perorang sebesar Rp. 30.000,- (Tiga Puluh Ribu Rupiah).
2. Satu Sha’ Sagu (+ 3,5 Liter) Sagu bagi orang yang mengkomsumsi makanan pokok sagu, atau dinilai sagu perliter Rp. 5.000,- (Lima Ribu Rupiah) dan Jumlah yang harus dikeluarkan sebesar Rp. 20.000,- ( Dua Puluh Ribu Rupiah).
3. Satu Sha’ Jagung (+ 3,5 Liter) jagung bagi orang yang mengkonsumsi makanan pokok jagung, atau dinilai perliter Rp. 4.000 (Empat Ribu Rupiah ) dengan uang sebesar Rp. 16.000,- (Enam Belas Ribu Rupiah ).
Kedua : Kadar Fidyah.
Kadar Fidyah adalah 1 (satu) mud (0.675 gr.) makanan Pokok, dinilai dengan uang standar makan yang mengenyangkan sebesar Rp. 35.000,- (Tiga Puluh Lima Ribu Rupiah) - perhari X Jumlah hari yang tidak dipuasai karena adanya uzur syar’iyah dan penerima fidyah diperuntukan kepada bagi orang miskin yang berpuasa dan rajin beribadah..
Ketiga : Prosentase Pembagian dan Pendistribusian zakat Fitrah
1. 50 % Untuk Fakir Miskin di desa / Kelurahan setempat
2. 5 % Untuk Muallaf
3. 5 % Untuk Ibnu Sabil
(Apabila asnaf nomor 2 dan 3 tersebut diatas, kedua – keduanya atau salah salah satunya tidak terdapat pada wilayah desa/Kelurahan yang bersangkutan maka porsi pembagiannya ditambahkan kepada bagian fakir miskin pada nomor 1 (satu) diatas sehingga menjadi 55 % atau 60 %).
4. 20 % Untuk Sabilillah yaitu Imam masjid / surau, penjaga & perawat masjid /surau guru ngaji / TPQ, Guru–guru agama yang tidak memperoleh gaji / penghasilan tetap.
5. 20 % Untuk Amil / Panitia Zakat
Dengan ketentuan, bahwa prioritas pembagian diperuntukkan kepada asnaf fakir miskin, maka bahagian asnaf sabilillah maupun asnaf amil boleh kurang dari 20 % dan tidak dibenarkan lebih dari 20 % sebagai bagian maksimal.
Keempat : Ketentuan ketentuan Khusus yang berkaitan dengan fidyah :
1. Bagi orang tua renta (lanjut usia) baik laki–laki maupun perempuan yang tidak mampu lagi berpuasa karena kondisi fisik yang sangat lemah, juga orang–orang yang sakit yang tidak ada harapan akan kesembuhannya, maka baginya boleh berbuka (tidak berpuasa) dan cukup membayar fidyah dan tidak wajib mengqadha’ (mengganti) puasa yang ditinggalkan.
2. Bagi Ibu Hamil dan atau menyusui yang dikhawatirkan / terancam kesehatan diri dan anaknya jika ia berpuasa, maka boleh baginya berbuka (tidak berpuasa) cukup baginya dengan membayar fidyah dan tidak wajib mengqadha (mengganti) puasa yang ditinggalkannya.
3. Bagi Ibu Hamil dan atau menyusui yang dikhawatirkan / terancam kesehatan anaknya saja jika ia berpuasa, maka boleh baginya berbuka (tidak berpuasa) Wajib baginya dengan membayar fidyah dan wajib pula mengqadha (mengganti) puasa yang ditinggalkannya dihari – hari yang lain diluar bulan Ramadhan.
4. Bagi Ibu Hamil dan atau menyusui yang dikhawatirkan / terancam kesehatan dirinya saja jika ia berpuasa (tidak terancam anaknya), maka boleh baginya berbuka (tidak berpuasa) wajib baginya mengqadha (mengganti) puasa yang ditinggalkannya dihari – hari yang lain diluar bulan Ramadhan dan tidak wajib baginya membayar fidyah.
5. Bagi Pekerja berat / buruh kasar yang tidak dapat mendapatkan makanan untuk diri & keluarganya yang kalau tidak bekerja akan terancam hidupnya dan tidak digaji oleh pemerintah dan dia bekerja terus.
C a t a t a n :
- Penentuan besaran jumlah Zakat Fitrah berdasarkan tingkatan jenis komsumsi bahan pokok masing-masing muzakki
- Penentuan adanya uzur (ancaman kesehatan bagi ibu hamil dan atau menyusui) harus ditentukan berdasarkan hasil pemeriksaan oleh ahli medis (dokter).
- Fidyah hanya diperuntukkan kepada fakir miskin yang berpuasa dan senantiasa beribadah (melaksanakan shalat) tidak boleh dibagikan kepada asnaf (kelompok penerima) zakat lainnya.
Kelima : Ketentuan - ketentuan yang lain yang harus diperhatikan :
1. Bagi Muzakki (Orang wajib berzakat) yang menunaikan zakat fitrah melalui amil (panitia zakat fitrah) dihimbau agar penyerahannya kepada panitia zakat segera mungkin sejak awal bulan ramadhan.
2. Amil (Panitia zakat fitrah) berkewajiban menyelesaikan pembagian zakat fitrah yang dikelolanya dan pendistribusian atau penyalurannya kepada asnaf-asnaf yang berhak menerimanya harus selesai (habis dibagikan) selambat - lambatnya sebelum khatib berkhutbah pada hari idul fitri.
3. Amil yang berhak mendapat bagian zakat adalah amil yang aktif bekerja dalam proses penerimaan/ pemungutan dan pendistribusian zakat fitrah.
4. Apabila terjadi penyimpangan terhadap ketentuan pada poin (2) tersebut seperti zakat masih tertimbun/tertahan baik ditangan amil maupun pihak lain yang terkait dalam pengelolaan zakat fitrah dan belum dibagikan sampai pada saat khatib berkhutbah Idul fitri, maka konsukuensi hukumnya zakat berubah statusnya menjadi sedekah biasa, tanggungjawab secara syar’i sepenuhnya ditanggung oleh amil dan atau pihak yang menahan/menyimpan .
5. Pembagian zakat fitrah kepada Asnaf Fakir Miskin diperhitungkan perjiwa (perindividu) bukan per –KK (Kepala Keluarga)
Keenam : Surat Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan : Di Kolaka
Pada Tanggal : 28 Sya’ban 1436 H.
16 Juni 2015 M.


KOMISI FATWA MUI KOLAKA
K e t u a 
KH. M. ALIYAS NOKKE, S.PdI

S e k r e t a r i s
Drs. SYAMSUDDIN B, MA

MENGETAHUI ;
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Kolaka
DR. KH. M. ZAKARIAH, MA.

Sunday, June 21, 2015

GAGALNYA HUJJAH HTI (Hizbut Tahrir Indnesia)


Jika ada orang bertanya, golongan mana di antara sekian banyak aliran dalam Islam yang paling tinggi khayalannya? Tentu jawabannya adala golongan Hizbut Tahrir. Hizbut Tahrir patut mendapat piala, sebagai aliran pengkhayal kelas berat. Mengapa demikian? Karena obsesi mereka tentang tegaknya khilafah al-nubuwwah (sistem pemerintahan idealis yang menjalankan aturan agama secara paripurna atau kaaffah), tidak sesuai dengan realitas masyarakat Islam internasional, dan tidak sesuai dengan dalil-dalil agama yang otoritatif dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Ketika Anda bertanya kepada aktifis Hizbut Tahrir, apa dalil Anda tentang keharusan menegakkan khilafah al-nubuwwah yang menjadi obsesi Anda untuk masa depan? Tentu saja, jawaban mereka pasti mengarah kepada tiga dalil.
Dalil pertama) adalah hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah: Nabi SAW bersabda: “Kaum Bani Israil selalu dipimpin oleh para nabi. Setiap ada nabi meninggal, maka akan diganti oleh nabi berikutnya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku. Dan akan ada para khalifah yang banyak.” Mereka bertanya: “Apakah perintahmu kepada kami?” Beliau menjawab: “Penuhilah dengan membai’at yang pertama, lalu yang pertama. Penuhilah kewajiban kalian terhadap mereka, karena sesungguhnya Allah akan menanyakan mereka tentang apa yang menjadi tanggung jawab mereka”.
Hadits di atas tidak mendukung obsesi Hizbut Tahrir tentang tegaknya khilafah. Menurut al-Imam al-Nawawi, hadits di atas termasuk mukjizat yang jelas bagi Nabi r, dimana beliau mengabarkan tentang banyaknya para khalifah yang akan memimpin umatnya sesudahnya. Kenyataannya, sesudah beliau wafat, umat Islam memang dipimpin oleh para khalifah. Pendeknya, hadits di atas bukan perintah menegakkan khilafah al-nubuwwah.
Dalil Kedua) hadits Hudzaifah bin al-Yaman, bahwa Nabi SAW bersabda: “Kenabian akan menyertai kalian selama Allah menghendakinya, kemudian Allah SWT mengangkat kenabian itu bila menghendakinya. Kemudian akan datang khilafah sesuai dengan jalan kenabian dalam waktu Allah menghendakinya. Kemudian Allah mengangkatnya apabila menghendakinya. Kemudian akan datang kerajaan yang menggigit dalam waktu yang Allah kehendaki. Kemudian Allah mengangkatnya apabila menghendakinya dan diganti dengan kerajaan yang memaksakan kehendaknya. Kemudian akan datang khilafah sesuai dengan jalan kenabian. Lalu Nabi SAW diam”. (HR. Ahmad, al-Bazzar dan al-Baihaqi).
Menurut Hizbut Tahrir, hadits di atas telah membagi kepemimpinan umat Islam pada empat fase. Pertama, fase kenabian yang dipimpin langsung oleh Nabi SAW. Kedua, fase khilafah yang sesuai dengan minhaj al-nubuwwah yang dipimpin oleh Khulafaur Rasyidin. Ketiga dan keempat, fase kerajaan yang diktator dan otoriter. Dan kelima, fase khilafah al-nubuwwah yang sedang dinanti-natikan oleh Hizbut Tahrir.
Sudah barang tentu asumsi Hizbut Tahrir bahwa hadits di atas memberikan bisyarah kepada mereka tentang kembalinya khilafah al-nubuwwah yang mereka nanti-nantikan, adalah tidak benar. Karena para ulama ahli hadits sejak generasi salaf yang saleh telah menegaskan bahwa yang dimaksud dengan bisyarah khilafah al-nubuwwah pada fase kelima dalam hadits di atas adalah khilafahnya Umar bin Abdul Aziz, penguasa ke delapan dalam dinasti Bani Umayah. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh perawi hadits Hudzaifah bin al-Yaman di atas, yaitu Habib bin Salim yang berkata:
“Habib bin Salim berkata: “Setelah Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah, sedangkan Yazid bin al-Nu’man bin Basyir menjadi sahabatnya, maka aku menulis hadits ini kepada Yazid. Aku ingin mengingatkannya tentang hadits ini [yang aku riwayatkan dari ayahnya]. Lalu aku berkata kepada Yazid dalam surat itu: “Sesungguhnya aku berharap, bahwa Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz adalah khalifah yang mengikuti minhaj al-nubuwwah sesudah kerajaan yang menggigit dan memaksakan kehendak.” Kemudian suratku mengenai hadits ini disampaikan kepada Umar bin Abdul Aziz, dan ternyata beliau merasa senang dan kagum dengan hadits ini.”
Di antara ulama yang menyatakan bahwa maksud khalifah dalam hadits di atas adalah Umar bin Abdul Aziz, adalah al-Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Bakar al-Bazzar, Abu Dawud al-Thayalisi, Abu Nu’aim al-Ashfihani, al-Hafizh al-Baihaqi, al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, Syaikh Yusuf bin Isma’il al-Nabhani (kakek Taqiyyuddin al-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir) dan lain-lain
Di sisi lain Nai SAW juga mengabarkan tentang masa khilafah al-nubuwwah (khilafah yang konsisten menerapkan ajaran Islam secara sempurna) sesudahnya yang hanya akan berjalan selama tiga puluh tahun.
“Sa’id bin Jumhan berkata: “Safinah menyampaikan hadits kepadaku, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Pemerintahan Khilafah pada umatku selama tiga puluh tahun, kemudian setelah itu dipimpin oleh pemerintahan kerajaan.” Lalu Safinah berkata kepadaku: “Hitunglah masa kekhilafahan Abu Bakar (2 tahun), Umar (10 tahun) dan Utsman (12 tahun).” Safinah berkata lagi kepadaku: “Tambahkan dengan masa khilafahnya Ali (6 tahun). Ternyata semuanya tiga puluh tahun.” Sa’id berkata: “Aku berkata kepada Safinah: “Sesungguhnya Bani Umayah berasumsi bahwa khilafah ada pada mereka.” Safinah menjawab: “Mereka (Bani Umayah) telah berbohong. Justru mereka adalah para raja, yang tergolong seburuk-buruk para raja”. (HR. Ahmad dan al-Tirmidzi).
Hadits di atas menjelaskan dengan sangat gamblang bahwa kepemimpinan khilafah yang mengatur roda pemerintahan umat sesuai dengan ajaran kenabian (khilafah al-nubuwwah) dan menerapkan syariat Islam secara sempurna, hanya berjalan selama tiga puluh tahun, yaitu masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Agaknya berdasarkan hadits Hudzaifah di atas yang menjanjikan khilafah al-nubuwwah pada fase kelima, dan hadits Safinah yang membatasi khilafah al-nubuwwah dalam 30 tahun, beberapa ulama salaf seperti Imam Sufyan al-Tsauri dan Imam al-Syafi’i menegaskan bahwa khalifah itu hanya ada lima, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan Umar bin Abdul Aziz.
Dalil Ketiga) tidak jarang dalam menjustifikasi visi dan misi perjuangan mereka untuk menegakkan khilafah tunggal di muka bumi, Hizbut Tahrir berargumentasi dengan ayat al-Qur’an dan hadits-hadits yang membawa bisyarah (kabar gembira) tentang kemenangan Islam menghadapi seluruh agama di seluruh dunia.
“Dialah Allah yang menjamin penyempurnaan cahaya-Nya dengan mengutus rasul-Nya (Muhammad) dengan membawa bukti- bukti yang jelas dan agama kebenaran (Islam) agar agama ini terangkat tinggi melebihi semua agama sebelumnya. Sungguh Allah pasti akan memenangkan agama-Nya walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai hal itu.” (QS. al-Taubah : 33).
Dalam sebuah hadits diterangkan, bahwa Mas’ud bin Qabishah berkata: “Marga Muharib ini menunaikan shalat shubuh. Setelah itu, seorang pemuda di antara mereka berkata: “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya negeri-negeri Timur dan Barat di seluruh bumi ini akan ditaklukkan oleh kalian (umat Islam), dan sesungguhnya para pegawainya akan masuk ke neraka kecuali orang yang takut kepada Allah dan menunaikan amanat”. (HR. Ahmad).
Hadits di atas dan hadits-hadits lain yang serupa menjadi bisyarah (kabar gembira) bagi umat Islam, bahwa mereka akan menaklukkan seluruh negeri di Barat dan Timur. Islam akan tersebar dan menguasai seluruh dunia, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Menurut Hizbut Tahrir, bisyarah dalam hadits di atas tidak mungkin menjadi kenyataan kecuali melalui sistem pemerintahan khilafah, dimana kaum Muslimin berada di bawah satu komando seorang pemimpin yang bernama khalifah. Tentu saja penafsiran Hizbut Tahrir terhadap ayat dan hadits di atas sangat meleset jauh. Mengapa? Karena ayat dan hadits-hadits di atas, baik secara tersirat maupun secara tersurat, tidak mengisyaratkan bahwa bisyarah tersebut akan terjadi ketika khilafah telah kembali ke tangan kaum Muslimin. Dalam hadits di atas Nabi SAW tidak bersabda: “Kabar gembira ini akan terjadi apabila kalian memperjuangkan tegaknya khilafah, atau kalian bersatu di bawah naungan khilafah.” Bahkan para ulama salaf justru menegaskan bahwa kejayaan dan kemenangan Islam menghadapi seluruh agama di muka dunia, seperti yang diisyaratkan dalam ayat al-Qur’an dan hadits-hadits di atas akan menjadi kenyataan ketika Nabi Isa AS turun ke dunia menjelang hari kiamat nanti, setelah Dajjal turun menyebarkan kesesatan dan kerusakan di seluruh muka bumi. Hal tersebut seperti dijelaskan dalam kitab Tafsir al-Thabari, Ibnu Katsir dan al-Durr al-Mantsur. Wallahu a’lam.
(Tulisan ini disadur dari buku HIZBUT TAHRIR DALAM SOROTAN, tulisan Ustadz Muhammad Idrus Ramli, aktivis LBM NU Jember, terbitan Bina ASWAJA Surabaya, Juni 2011).

Wahabi memalsukan kitab-kitab rujukan Islam Ahlu Sunnah Wal Jamaah.

Bukti Wahabi Saudi memalsukan Kitab shahih Bukhary : Hadits Mutasyabihat “Pinggang Arrahman” diubah / dipalsukan

Kitab umat muslim paling shahih setelah Al-Quran tak luput dari ulah jahil tangan-tangan wahabi.

Mereka menggunting sebagian teks dari hadits dalam kitab shahih Bukhari.

Wahabi terkenal dengan doktrinya yang anti takwil, hamper semua ayat-ayat dan hadits-hadits shifat ia haramkan untuk ditakwil, menurut mereka takwil itu ta’thil yaitu meniadakan sifat-sifat Allah. Mereka tutup mata dan telinga dari kenyataan pentakwilan sebagian ulama salaf terhadap ayat-ayat shifat, entah karena mempertahankan doktrin tajsimnya atau memang sengaja menyesatkan umat muslim dari kebenaran.
Berikut salah satu redaksi hadits shahih riwayat imam Bukhari yang merupakan mutasyabih dan tak ada jalan untuk memahaminya kecuali dengan metode ulama salaf sholeh yaitu tafwidh al-ma’na bilaa kaifin walaa tasubiihin wa laa tamtsilin atau disebut takwil ijmali dan metode takwil tafsili yaitu memebrikan makna yang layak bagi sifat keagungan dan kesempurnaan Allah.
Namun hadits ini karena wahabi merasakan kebuntuan di dalam memahaminya dan dapat menyebabkan runtuhnya serta terkuaknya doktrin tajsim mereka, maka dengan sengaja mereka membuang teks tersebut.
Berikut bukti akurat yang akan saya tampilkan :
Inilah redaksi hadits aslinya :
Nabi Sallallahu ‘Alahi Wasallam bersabda :
خَلَقَ الله الْخَلْقَ، فَلَمَّا فَرَغَ مِنْهُ قَامَتِ الرَّحِمُ فَأَخَذَتْ بِحَقْوِ الرحمن فَقَالَ لَهَا: مَهْ. قَالَتْ: هذا مَقَامُ الْعَائِذِ بِكَ مِنَ الْقَطِيْعَةِ. قَالَ: أَلاَ تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ. قَالَتْ: بَلَى يَا رَبِّ، قَالَ: فَذَاكِ لَكِ. قَالَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ: اِقْرَءُوْا إِنْ شِئْتُمْ ((: فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِن تَوَلَّيْتُمْ أَن تُفْسِدُوا فِي اْلأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ ))
”Allah menciptakan makhluk, ketika Allah telah merampungkannya, maka berdirilah rahim, ia berpegang kepada pinggang ar-Rahman. Allah berfirman kepadanya : “Diamlah”. Ia menjawa : “Ini adalah kesempatan berlindung kepadaMu dari pemutusan”. Allah berfirman : “Apakah kamu tidak rela Aku menyambung orang yang menyam-bungmu dan memutus orang yang memutusmu?”. Ia menjawab : “Ya, ya Rabbi”. Allah berfirman : “Itu untukmu”. Abu Hurairah berkata : “’Bacalah kalau kamu mau : “Maka apakah jika kamu berkuasa, kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, Mukhtashar Shahih al-Bukhari, no. 1696, dan Mukhtashar Shahih Muslim, no. 1764, shohih bukhary no. 4455, bab 2945 Surat Muhar).
‎”PINGGANG ARRAHMAN” DITAFSIRKAN OLEH ULAMA SUNNI = “PINGGANG YANG DIMULIAKAN ARRAHMAN”.
SEPERTI “BAITULLAH” = “RUMAH YG DIMULIAKAN ARRAHMAN”
NAQATALLAH = “ONTA BETINA YANG DIMULIAKAN ALLAH”
Teks asli tersebut (belum digunting) ada pada 4 terbitan :
1. Terbitan Doktor Musthofa Dib Al-Bigha
2. Terbitan Dar Tauqun Najah
3. Terbitan Al-Mathba’tus salafiyyah
4. Terbitan Dar Ibn Katisr
Dan telah ditahrif oleh terbitan Dar As-Salam Riyadh milik wahabi :
Dan berikut scan kitab yang ditahrif wahabi :
Dalam scan kitab terbitan Dar As-Salam tsb teks “ بحقو للرحمن  “ telah digunting wahabi dan tidak akan ditemukan dalam terbitan itu.
Bandingkan dengan keempat terbitan milik sunni berikut :
1. Terbitan Doktor Musthofa Dib Al-Bigha :
Dalam terbitan ini teks ” “ بحقو للرحمن  “ ditetapkan (tidak dibuang).
2. Terbitan Dar Tauqun Najah :
Dalam terbitan ini pun teks ” “ بحقو للرحمن  “ ditetapkan (tidak dibuang).
3. Terbitan Al-Mathba’tus salafiyyah :
Dalam terbitan ini pun teks ” “ بحقو للرحمن  “ ditetapkan (tidak dibuang).
4. Terbitan Dar Ibn Katsir :
Dalam terbitan Dar Ibn Katsir juga teks “ بحقو للرحمن  “ juga ditetapkan (tidak dibuang).
Inilah bukti pengkhianatan ilmiyyah dan kejahatan yang sudah biasa dilakukan wahabi-salafi demi melancarkan doktrin-doktrin sesat mereka.
By : Shofiyyah An-Nuuriyyah
30-08-2012

Wahabi Mesir Memalsukan Kitab Nihayah al-Qaul al-Mufid fi Ilm at-Tajwid : Menghilangkan keterangan mushanif sebagai pengikut “Thareqat syadzilii”

Wahabi Memalsukan Kitab Nihayah al-Qaul al-Mufid

Ini adalah kitab Nihayah al-Qaul al-Mufid fi Ilm at-Tajwid karya Syaikh Muhammad Makki Nashr al-Juraisi, Imam Masjid az-Zahid Kairo Mesir. Buku ini ditahkik oleh Syaikh al-‘Allamah ad-Dhabba’ dan dicetak pada awal abad ke-14 Hijriah dengan versi cetakan lama.
Namun pada cetakan baru terbitan Maktabah ash-Shafa yang terletak di Darbu al-Atrak di samping Universitas Al-Azhar Kairo Mesir, dengna pentahkiknya Syaikh Thaha Abdur R’uf Sa’ad, buku itu mengalami perubahan teks asli.
Ucapan Syaikh Muhammad Makki Nashr al-Juraisi  dipalsukan. Diduga, pemalsuan ini dilakukan oleh pihak penerbit, yaitu Maktabah ash-Shafa, yang memang kencang menerbitkan buku-buku berfaham Salafi Wahabi di Mesir. Di dalam buku yang dipalsukan itu, mereka enggan untuk menulis dan mengakui—sesuai teks aslinya—bahwa Syaikh Muhammad Makki Nashr al-Juraisi adalah seorang sufi yang menempuh jalan tarekat (thariqah) Imam Sadzily, bahkan beliau menyelam dan basah kuyup di dalam tarekat sufinya itu.
Inilah scan teks dari buku Nihayah al-Qaul al-Mufid fi Ilm at-Tajwid versi asli sebelum dipalsukan (silakan cermati redaksi yang digarisbawah):
Sedangkan gambar di bawah ini adalah versi palsu berikut perubahan teksnya:
Anda dapat membandingkan tulisan tersebut, antara versi yang telah diubah (palsu) dengan versi asli, khususnya yang tulisannya ditandai dengan garis. Lebih jelasnya, penulis salinkan tulisan di versi asli tersebut sebagai berikut:
 فيقول أسير الشهوات كثير الهفوات الرا خي من مولاه الفوز والنصر الفقير محمد مكي نصر الجريسيّ مولدا والشافعي مذهبا الشاذلي طريقة ومشربا. إن أولي ما شغل العبد به لسانه وعمر به قلبه وجنانه وأفضل مايقوسل به إلي نيل الغفران وأعظم مايتو صل به إلي دخول الجنان قراءة كتاب الله الجيد
“Telah berkata-orang yang digelari-sang Pemenjara Syahwat, sang Banyak Hikmah, sang Pengharap Pertolongan dan Kemenangan dari Tuhannya, yaitu al-Faqir Muhammad Makki Nashr yang dilahirkan di Jurais, bermazhab Syafi’i, bertarekat Syadzili dan menyelam di dalamnya: “Sesungguhnya kesibukan seorang hamba yang paling utama dari lidah, hati dan pikirannya, dan tawasul yang paling afdal untuk memperoleh ampunan Allah, serta wasilah yang paling agung untuk masuk ke dalam surga-Nya adalah membaca Al-Qur’ an yang mulia…”
Sedangkan tulisan pada versi palsunya tertulis:
فيقول أسير الشهوات كثير الهفوات الرا خي من مولاه الفوز والنصر الفقير محمد مكي نصر الجريسيّ مولدا والشافعي مدهبا . إن أولي ما شغل العبد به لسانه وعمر به قلبه وجنانه وأفضل مايقوسل به إلي نيل الغفران وأعظم مايتو صل به إلي دخول الجنان قراءة كتاب الله الجيد
 “Telah berkata-orang yang digelari-sang Pemenjara Syahwat, sang Banyak Hikmah, sang Pengharap Pertolongan dan Kemenangan dari Tuhannya, yaitu al-Faqir Muhammad Makki Nashr yang dilahirkan di Jurais, bermazhab Syafi’i, * * * ** kalimat di sini menghilang* * * * *: “Sesungguhnya kesibukan seorang hamba yang paling utama dari lidah, hati, dan pikirannya, dan tawasul yang paling afdal untuk memperoleh ampunan Allah, serta sarana yang paling agung untuk masuk ke dalam surga- Nya adalah membaca Al-Qur’an yang mulia…”
Dengan penghapusan dan pemalsuan tersebut, sepertinya Salafi Wahabi merasa takut sekali jika umat Islam mengamalkan nilai-nilai ajaran tasawuf. Padahal, nilai-nilai tasawuf itu pada hakikatnya dari Rasulullah Saw. Pada masa Rasul, sebagaimana masyhur adanya, kata tasawuf sebagai istilah tentang ilmu tertentu belum muncul, namun hakikat dan spiritnya sudah ada dalam kehidupan sehari-hari beliau. Demikian pula istilah fikih, ilmu kalam, dan lain-lain.  Sebaiknya, biarkan saja teks-teks tulisan ulama berada di buku itu seperti apa adanya, tidak perlu diubah, apalagi dipalsukan. Sebab, tasawuf ada dalilnya dari ajaran Rasulullah Saw., dan karenanya perlu disampaikan, bukan ditutup-tutupi. Biarkan saja umat yang menilai, mana yang baik dan mana yang buruk. Toh Rasulullah Saw telah menjamin bahwa umatnya tidak akan mudah tergelincir ke dalam jurang kemusyrikan, sebagaimana disinggung pada sebuah hadis:
إنّي اُعطيت مفاتيح خزثڽ الأرض أومفاتيح الأرض وإنّي والله ما أخاف عليكم أن تشركوا بعدي ولكن أخاف عليكم أن تنافسوا فيها
“Sesungguhnya aku telah diberikan berbagai kunci gudang-gudang dunia—atau kunci-kunci dunia—dan sesungguhnya aku tidak takut (sama sekaii) kalian akan musyrik setelah wafatku. Namun, yang aku takutkan terhadap kalian adalah kalian saling memperebutkan dunia.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Baihaqi, Thabarani, Ibnu Hibban dan lainnya). [Sarkub.Com]
versi arabic:
 06-02-2006 02:35
هذا الكتاب : نهاية القول المفيد من أعظم كتب التجويد التي ظهرت في أول القرن الرابع عشر الهجري إن لم يكن أعظمها، وقد طبع الكتاب في مصر طبعات قديمة بعناية العلامة الضباع، لكن هناك طبعة جديدة بتحقيق الأستاذ العالم طه عبدالرؤوف سعد خرجت عن دار الصفا هذه صورتها:
وقد جاء في مقدمتها النص التالي:
— اضغط على الصورة لمشاهدتها بحجمها الطبيعي —
هذا النص جاء في الطبعات القديمة هكذا:
— اضغط على الصورة لمشاهدتها بحجمها الطبيعي —
والأستاذ طه عبدالرؤوف سعد رفيع المقام عن مثل هذا الفعل، ولا أظن تلك الدار الكائنة بدرب الأتراك في الأزهر تتعمد مثل هذا التحريف فلا بد أن يكون ثمت عنصر خسيس مندس في تلك الدار قام بهذا التزوير وحذف نسبة الرجل إلى الطريقة الشاذلية، ولا نعرف أحدا يهمه الإقدام على مثل هذا التزوير إلا طائفة واحدة معادية لأهل التصوف هي الوهابية، فالرجاء من طلبة العلم بالقاهرة متابعة الموضوع والتحري فيه وإفادتنا عن سبب مثل هذا التحريف البعيد عن كونه مجرد سقط سهوا وموافاتنا بما تفيده إدارة تلك الدار ومن هو العنصر المسؤول عن هذا التزوير؟؟؟؟ وعلى أبناء الطريقة الشاذلية بالذات تقع مسؤولية الانتصار لأحد أعظم وأجل المنتسبين للمدرسة السلوكية الشاذلية، فباعتبار العلامة محمد مكي نصر الجريسي إمام القراءات والتجويد في وقته شاذليا يحمل إخوانه في الطريق فريضة الانتصار له ورد التحريف عنه، فلتعقد مشيخة الطريقة الشاذلية لجنة تحقيق تتولى مساءلة الدار عن سبب هذا التزوير ثم نشر نتائج تلك التحقيقات، وعلى الدار المذكورة أن تتبرأ من هذا وتساهم في كشف الحقيقة فإن لم تتبرأ الدار من ذلك التزوير وتسعى في كشف الحقيقة التصق بها العار والشنار، وعلى طلبة العلم الأزهريين الانتصار لمنهج الأزهر الحق بدرء مثل هذه المحاولات الفاشلة لتشويه صورة عالم أزهري ومكتبة ودار تجاور الأزهر وتستمد من أنوراه الباهرة، وعلى القريبين من الأستاذ المحقق طه عبدالرؤوف سعد إعلامه بهذا التغيير ومطالبته بالسعي لكشف من وراءه لأن مسؤوليته هو كمحقق واضحة ونحن لا نظن به إلا خيرا وكم خدم التراث الإسلامي وتراث أهل السنة والجماعة بشكل خاص فلا نظن إلا أن يدا خبيثة وهابية تسللت إلى تلك الدار وعملت في الخفاء.
الكلام على طبعة أخرى فيها شيء:
وهذه هي طبعة دار مكتبة الآداب التي أشرف على تحقيقها والعناية بها أحمد علي حسن المدقق بالدار المذكورة، طالعتها فوجدتها طبعة أمينة، وهذا غلافها:
لكن وجدت في الصفحة رقم 32 منها صورة تمثيلية لمخارج الحروف هي هذه:
لكن دون تنبيه ولا إشارة إلى أن هذه الصورة الواقعة في الصفحة المذكورة لا علاقة لها بالكتاب وأنها مدرجة فيه للتوضيح ومثل هذا لا يجوز فنتمنى من المدقق المذكور التنبيه على هذا في طبعة لاحقة.
http://cb.rayaheen.net/showthread.php?tid=11650

Bukti (scan kitab) Pemalsuan Kitab Minhajussunnah annabawiyah (Ibnu Taymiyah) yang menafikan arah bagi Allah

Lenyapnya Teks Ibnu Taymiyyah Yang Menafikan Arah Bagi Allah

TIDAK HANYA AL-ASY’ARI, TEKS IBN TAIMIYYAH PUN LENYAP
Semoga kesalahan ini hanya kesalahan dipercetakan, bukan unsur kesengajaan. Dan semoga bermanfaat bagi ikhwah Salafi maupun ikhwah sarungan/tradisional dapat mengambil manfaat. Dan selalu memunculkan sikap kritis dan teliti dalam membaca Karya Para Ulama. Di bagian akhir catatan ini dicantumkan munaqasyah dengan perkataan Imam Abu Khanifah, Imam Sufyan Ibn ‘Uyainah, Imam Hammad Ibn Zaid, al-Hafizh Abu Ja’far al-Thahawi, al-Hafizh al-Khithabi, Imam Abu Muhammad al-Muzni (guru Imam al-Hakim), al-Hafizh al-Baihaqi dan al-Hafizh Ibn al-Jawzi.
Bermula dari bolak-balik buku karya Ibn Taimiyyah di kamar asrama; Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah, guna mencari bahan tugas akhir kuliah. Kejanggalan teks tiba-tiba terasa, pertama antara pembahasan sebelumnya agak terasa rancu dan tidak selaras dengan pembahasan setelahnya, kedua antara kata sebelum dengan sesudah terjadi jarak yang agak mencolok. Minhaj al-Sunnah ini adalah milik Perpustakaan Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darussunnah.
Rasa penasaran itu membawa hasrat untuk memastikan hal ini. Sorenya langsung berangkat ke Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Akhirnya kitab yang sama ditemukan, namun dengan cetakan berbeda. Cetakan yang dimiliki perpustakaan Darussunnah adalah Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah (sama dengan cetakan al-Ibanah yang kehilangan teks) 2 jilid font kecil, sementara yang dimiliki UIN adalah cetakan Mu’assasah Qurthubi 8 jilid font besar.
Sedikit rumit melakukan pencarian lantaran daftar isi tampil beda antara dua cetakan. Alhamdulillah hal yang dicari ditemukan. POSITIF, dengan perbandingan dua kitab, ternyata teks itu betul-betul hilang. Dengan analisa awal barangkali teks itu tidak banyak, namun fakta berkata lain.
Teks yang hilang (Ibn Taimiyyah membenarkan penafian Jihat -arah-) dalam kitab Minhâj al-Sunnah al-Nabawiyyah (dengan Hâmisy Bayân Muwâfaqah Sharîh al-Ma‘qûl li Shahîh al-Manqûl), cetakan Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, juz.1, hal.217(teks yang benar-benar panjang untuk dilenyapkan mencapai 210 kata, 833 huruf), na‘ûdzu billah;
Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah Cetakan Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah. Milik Perpustakaan Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darussunnah.
Perhatikan Baris Ke Tiga Dari Atas (teks yang di dalam), dilingkari pensil. Di situlah posisi lenyapnya teks, antara kata عال عليهdan kata وإذا كان
Teksnya sebagai berikut;

ونفاة لفظ الجهة يذكرون من أدلتهم أن الجهات كلها مخلوقة وأنه كان قبل الجهة وأنه من قال إنه في جهة يلزمه القول بقدم شيء من العالم أو أنه كان مستغنيا عن الجهة ثم صار فيها وهذه الأقوال ونحوها إنما تدل على أنه ليس في شيء من المخلوقات سواء سمى جهة أو لم يسم وهذا حق، فإنه سبحانه منزه عن أن تحيط به المخلوقات أو أن يكون مفتقرا إلى شيء منها العرش أو غيره ومن ظن من الجهال أنه إذا نزل إلى سماء الدنيا كما جاء الحديث يكون العرش فوقه ويكون محصورا بين طبقتين من العالم فقوله مخالف لإجماع السلف مخالف للكتاب والسنة كما قد بسط في موضعه وكذلك توقف من توقف في نفى ذلك من أهل الحديث فإنما ذلك لضعف علمه بمعانى الكتاب والسنة وأقوال السلف، ومن نفى الجهة وأراد بالنفي كون المخلوقات محيطة به أو كونه مفتقرا إليها فهذا حق، لكن عامتهم لا يقتصرون على هذا بل ينفون أن يكون فوق العرش رب العالمين أو أن يكون محمد صلى الله عليه وسلم عرج به إلى الله أو أن يصعد إليه شيء وينزل منه شيء أو أن يكون مباينا للعالم بل تارة يجعلونه لا مباينا ولا محايثا فيصفونه بصفة المعدوم والممتنع وتارة يجعلونه حالا في كل موجود أو يجعلونه وجود كل موجود ونحو ذلك مما يقوله أهل التعطيل وأهل الحلول.

Teks ini terdapat dalam cetakan Mu’assasah Kordoba, cet.1, vol.1, hal.189.
Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah Cetakan Mu’assasah Qurthubi
Teks yang diberi garis adalah teks yang lenyap

Teks yang diberi garis adalah teks yang hilang…

“Kalangan yang menafikan lafaz al-Jihah (arah penjuru) menyebutkan -berdasarkan dalil-dalil mereka- bahwa semua al-Jihât (arah penjuru) adalah makhluk, sementara Allah telah ada sebelum adanya al-Jihah. Dan orang yang mengatakan bahwa Allah berada pada Jihat, sama artinya bahwa bagian dari alam ini ada sesuatu yang Qadîm (karena Jihat adalah Makhluk/Hâdits), atau pada sisi lain dia mengatakan bahwa Allah sebelumnya tidak butuh Jihat yang kemudian Dia berjihat (hal ini sama dengan mengatakan Allah akan eksis bila ada Jihat, tentunya ini Bathil). Ungkapan-ungkapan ini dan lain sebagainya mengindikasikan bahwa Allah tidak berada pada sesuatupun (ليس في شيئ) daripada makhluk-Nya, baik dengan menyebutkan Jihat atau tidak, INI BENAR. Karena Allah subhanahu wa ta‘ala tidak diliputi oleh makhluk dan tidak membutuhkannya seumpama ‘Arasy atau selainnya (seperti langit, kursi). Jika ada kalangan tak terdidik mengira bahwa apabila Allah Nuzûl ke langit dunia -sebagaimana terdapat dalam hadis- lalu ‘Arasy berada di atas-Nya dan Dia berada di antara dua komponen alam (di antara langit dan ‘arasy, atau di antara bumi dan ‘arasy), maka dia telah menyelisihi konsensus kalangan salaf, al-Qur’an dan al-Sunnah, sebagaimana telah tertera di tempat (pembahasannya). Begitu juga sebagian ahli hadis ada yang bersikap tawaqquf dalam menafikan Jihat, hanyasaja hal itu lantaran tidak begitu mengetahui makna-makna al-Qur’an, al-Sunnah, dan statemen-statemen kalangan salaf (Allâhu A‘lam apa yang dimaksudkan oleh Ibn Taimiyyah dengan statemen ini bahwa ahli hadis tidak mengetahui). Dan orang yang menafikan Jihat dan bermaksud menafikan Allah diliputi oleh makhluk atau menafikan bahwa Allah membutuhkannya, MAKA INI ADALAH BENAR. Namun ada kalangan yang menafikan Jihat, tidak mencukupkan sampai disini (seperti Mu‘atthilah Mu‘tazilah), bahkan (secara muthlak) mereka menafikan fawqiyyah Tuhan semesta alam atas ‘Arasy, menafikan mi‘rajnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada-Nya, atau naik atau turunnya sesuatu dari-Nya (seperti turunnya rahmat), atau di antara mereka ada yang menafikan keberadaan Allah Mubâyinan terhadap alam, bahkan terkadang mereka menjadikan Allah tidak Mubâyin/Muhâyits (Mufâriq -al-Mu‘jam al-Wasîth- atau Muqâbil *berhadapan), sehingga mereka mensifatinya dengan sifat ketiadaan dan kemustahilan. Dan terkadang ada yang menjadikan-Nya menempati segala yang mawjûd (seperti al-Murji’ah), atau mereka menjadikan Allah sebagai wujud dari segala wujud (seperti al-Muttahidah) dan lain sebagainya dari ungkapan-ungkapan Ahl al-Ta‘thîl dan Ahl al-Hulûl”.
*Begitulah bagaimana Ibn Taimiyyah membenarkan penafian Jihat dari Allah, karena konsekuensi Jihat adalah keberadaan Allah diliputi oleh alam, karena jika Allah berjihat, sementara jihat adalah makhluk ciptaannya, maka ini adalah hulul, yaitu Allah berada pada jihat. Atau dengan ungkapan agak menipu logika seperti pada Azali Allah tidak berjihat, lalu setelah Dia menciptakan makhluk maka Dia berjihat. Benarlah apa yang diungkapkan Abu Ja‘far al-Thahawi;
لا تحويه الجهات الست
(Allah tidak diliputi enam penjuru; atas, bawah, depan, belakang, kanan dan kiri).
Manakala Allah bersifat Baqâ’ (kekal), maka segala sifat-Nya pun turut kekal tanpa berubah Min Bidâyatin Lâ Awwala Lahâ ilâ Nihâyatin Lâ Âkhira Lahâ. Sementara ada kalangan yang menganggap hal ini tidak logis dan sama saja mengatakan Allah itu tiada, karena semua wujud pasti ada jihat. Ungkapan ini adalah penganalogian Allah dengan makhluk, karena yang terbayang dalam benak mereka adalah keberadaan diri mereka berada pada jihat, dan mereka juga ingin mengatakan Allah berjihat seperti wujud mereka, konsekuensi hal ini adalah keberadaan hadd (batas) bagi Allah, maka cukuplah perkataan Imam ‘Ali
من زعم أن إلهنا محدود فقد جهل الخالق المعبود
(siapa yang beranggapan bahwa Allah berbatas dimensi, dia tidak mengenal Allah sang pencipta yang maha disembah)ز
juga ungkapan Abu Ja‘far al-Thahawi
وتعالى عن الحدود والغايات
(Allah maha suci dari batas dan batas akhir -dzat maupun sifat-).
*Ibn Taimiyyah menafikan konsekuensi nuzul yang berakibat keberadaan-Nya ada pada dua komponen alam yaitu ‘Arasy dan Langit ke 2,3,4,5,6 dan 7, karena langit dunia adalah langit pertama. Maka tidak sah jika nuzûl Allah aadalah Nuzûl berpindah dari atas ke bawah, akan tetapi Nuzûl sebagaimana layaknya bagi Dzat Allah ta‘âlâ. Jika turun cara makhluk adalah dari atas ke bawah, maka Nuzûl Allah tidak sebagaimana turunnya makhluk, karena turun dari atas ke bawah adalah ciri khas makhluk. Oleh karena itu Abu Ja‘far al-Thahawi berkata
من وصف الله بمعنى من معانى البشر فقد كفر
(siapa yang menyifati Allah dengan sebuah makna atau ciri dari ciri-ciri makhluk, maka dia telah ingkar/fasiq).
Begitu juga al-Hâfizh al-Khithâbî (guru al-Hâfizh al-Hâkim) berkata bahwa Allah tidak disifati dengan bergerak, perpindah karena dua hal ini adalah ciri-ciri makhluk (Lihat al-Asma’ wa al-Shifat Baihaqi, cet.Darul Hadis, hal.446), al-Hafizh al-Baihaqi pun menegaskan bahwa turun dari atas ke bawah adalah ciri khas makhluk, karena bentuk ini adalah sebuah kayfiyyah, dan Allah maha suci dari segala kayfiyyah (al-Asma’ wa al-Shifat,hal.466). Abu Hanifah ketika ditanya tentang Nuzûl, maka beliau jawab ينزل بلا كيف (Allah nuzul tanpa Kayf, lihat al-Asma’ wa al-Shifat, hal.447). Karena segala bentuk gerak adalah Kayf. Lebih dari itu Imam Hammad Ibn Zaid berkata نزوله إقباله (al-Iqbâl, lihat al-Asma’ wa al-Shifat,hal.447). Imam Abu Muhammad al-Muzni, juga guru Imam Hakim berkata
المجيئ والنزول صفتان منفيتان عن الله تعالى من طريق الحركة والانتقال من حال إلى حال، بل هما صفتان من صفات الله تعالى بلا تشبيه، جل الله تعالى عما يقول المعطلة لصفاته والمشبهة بها علوا كبيرا
(datang dan turun adalah dua sifat yang ternafi dari Allah ta‘ala -jika dipahami- dengan bergerak dan berpindah dari suatu keadaan ke keadaan lain, akan tetapi keduanya adalah dua sifat dari sifat-sifat Allah ta‘ala tanpa Antropomorphism, maha suci Allah dari anggapan Mu‘atthilah (yang menafikan nuzul) dan dari anggapan Musyabbihah (yang mengatakan nuzul dengan bergerak dan berpindah, lihat al-Asma’ wa al-Shifat, hal.447). Inilah pendapat salaf yang telah dikuatkan oleh al-Baihaqi.
Munaqasyah;
Fawqiyyah
Al-Hafizh Ibn al-Jawzi menegaskan bahwa Fawqiyyah Allah ta‘ala adalah Fawqiyyah yang bukan Fawqiyyah Hissiyyah (fawqiyyah fisik/inderawi), karena al-Fawq dan al-‘Uluw pada Dzat Allah adalah ‘Uluw al-Martabah (al-Hâfizh Ibn al-Jawzî, Daf‘u Syubhah al-Tasybîh bi Akuff al-Tanzîh bi man Yantahilu Madzhab al-Imâm Ahmad, al-Maktabah al-Tawfîqiyyah, hal.41). Fawqiiyah Hissiyyah adalah sebuah Hadd, Jihât, potensi Tahayyuz, Allah maha suci dari ciri khas makhluk.
Naiknya amalan shaleh
Al-Hafizh al-Baihaqi telah menuturkan, bahwa naiknya amal kebaikan adalah sebagai ibarat/istilah amalan itu diterima oleh Allah dengan baik. Sementara naiknya malaikat adalah ke tempat mereka di langit, kerena langit adalah tempat mereka. (lihat al-Asma’ wa al-Shifat, hal.425).
Mubâyin/Mujâwir
Al-Hafizh Ibn al-Jawzi menegaskan bahwa Mubâyin & Mujâwir (berhadapan antara Allah dan makhluk dengan Jihat dan Masâfah) mustahil bagi Zat Allah, karena dari sana Allah akan berbatas dan berjihat. (Lihat Daf‘u Syubhah al-Tasybîh bi Akuff al-Tanzîh bi man Yantahilu Madzhab al-Imâm Ahmad, hal.41).
———————
*Dapat disimpulkan, jika Allah tidak diliputi oleh Jihât, Masafah, Hadd, maka benarlah sikap Salafusshaleh; ketika muncul ayat Istiwâ’, mereka tidak memaknainnya dengan duduk, Julus atau Istiqrar, namun Istiwâ’ yang layak bagi keagungan Allah. Allah nuzul, tanpa menyerupai makhluk yang harus berpindah dari atas ke bawah, namun Allah nuzul sebagaimana yang tertera dalam nash. Dia tidak butuh bergerak. Maka jika ada nash2 mutasyabihat, hal yang harus dipahami oleh seorang muslim adalah ungkapan Sufyan Ibn ‘Uyaynah; تفسيره تلاوته/قراءته (tafsirnya adalah bacaan itu sendiri),
tidak perlu dibuat ungkapan-ungkapan “dari atas ke bawah, duduk, bersemayam, dll”. Maka madzhab yang lebih benar adalah Madzhab Salaf, yaitu Tafwîdh, dan dengan tafwidh ini semua syubhat-syubhat Karramiyyah, Hisyamiyyah, Mujassimah, Musyabbihah, Hasyawiyyah akan terbantahkan. Namun jika ada sebagian kalangan yang mengingkari Tafwîdz, adakalanya mereka adalah Musyabbihah, adakalanya Mu‘atthilah.
Rasulullah bersabda; وأنت الظاهر فليس فوقك شيئ، وأنت الباطن فليس دونك شيئ
(Engkau maha Zhahir, maka tiada sesuatu pun di atas-Mu, Engkau maha Bathin, maka tiada sesuatu pun di bawah-Mu).
Al-Hafizh al-Baihaqi menjelaskan hadis ini; jika di atas maupun di bawah-Nya tiada sesuatu pun maka Allah tidaklah bertempat (al-Asma’ wa al-Shifat, hal.406). Seperti Istiwâ’, tidak boleh dipahami dengan Istiqrâr atau menempati ‘Arasy.
Wajar Syeikh al-Albani membantah Syeikh Abu Zahrah ketika mengatakan bahwa Ibn Taimiyyah mengatakan bahwa Allah Istiwâ’ dengan makna Istiqrâr, kata beliau;
فأين رأيت ابن تيمية يقول بالاستقرار على العرش علما بأنه أمر زائد على العلو وهو مما لم يرد به الشرع ولذلك رأينا مؤلفنا الحافظ الذهبي قد أنكر على بعض القائلين بصفة العلو التعبير عنها بالاستقرار.
Perhatikan bagaimana Syeikh al-Albani tidak menyetujui Istiqrâr, lihat (Muhammad Nâshiruddîn al-Albani, Mukhtashar al-‘Uluw, Beirut: al-Maktab al-Islamî, cet.1, 1401H, hal.41).
“Tipuan logika musyabbihah; mengatakan Allah tiada berjihat sama saja mengatakan Allah tidak ada. Al-Hâfizh Ibn al-Jawzi menjawab; Jika sebuah wujud dapat disifati dengan al-ittishâl dan al-Infishâl, maka engkau benar. Namun jika sebuah wujud tidak disifati dengan keduanya, maka tidak mesti sesuatu wujud itu menjadi tidak ada (Lihat Daf‘u Syubhah al-Tasybîh bi Akuff al-Tanzîh bi man Yantahilu Madzhab al-Imâm Ahmad, hal.43). Dapat kita contohkan tentang Ittishal dan Infishalnya dua sifat yang memang tidak dimiliki oleh sebuah wujud, seperti sebuah BATU. Kita katakan bahwa batu tidak dapat melihat, di lain sisi batu ini juga tidak buta. Apakah hal ini kita katakan sebuah kontradiksi sehingga batu itu menjadi mustahil adanya? Jawabannya tidak, kerena persoalan melihat dan kebutaan bukan sifat batu. Begitu juga jika dikatakan Allah tidak di luar maupun di dalam alam, karena luar dan dalam bukan dimensi dan sifat Allah. Lalu apakah ini sebuah kontradiksi? Jawabannya iya jika hal ini dinisbatkan kepada makhluk. Karena makhluk tidak terlepas dari dua dimensi ini atau pun salah satunya, karena pada hakikatnya makhluk adalah alam”.
*Sebelum Allah menciptakan alam, tidak ada istilah luar dan dalam karena Rasulullah bersabda:
كان الله ولم شيئ قبله/غيره
(Allah ada sejak azali, tiada sesuatupun sebelum-Nya/selain-Nya)
‘Ali ibn Abi Thalib berkata:
كان الله ولا مكان
(Allah ada sejak azali tanpa tempat).
Setelah Allah menciptakan alam, Dia tetap sebagaimana ada-Nya, sebagaimana ‘Ali bin Abi Thalib berkata:
وهو الآن على ما عليه كان
(Dia sekarang ada sebagaimana adanya -pada azali-).
Mari kita pahami, dan kita bedakan istilah بالنسبة إلى الله dan بالنسبة إلى المخلوق.  Tidak adanya dimensi luar dan dalam sangat mustahil Bi al-Nisbah ilâ al-Makhlûk. Namun ketiadaan keduanya tidak mustahil Bi al-Nisbah ilâ Allah subhânahû wa ta‘âlâ, karena jika Allah tidak menghendaki adanya makhluk maka Allah akan tetap sebagaimana adanya, begitupun jika Allah menghendaki untuk melenyapkan alam, Dia akan tetap sebagaimana adanya tanpa Jihat, Ruang dan Waktu. Dimensi luar dan dalam mengikut kepada makhluk, maka jika makhluk atau alam dilenyapkan oleh Allah, dua dimensi ini pun akan lenyap. Untuk pendekaan memahami ini, dalam Fiqh ada sebuah kaedah kulliyyah yang tidak menyentuh hal-hal juz’iyyah, yaitu kaedah ke empat yang berbunyiالتابع تابع (sesuatu yang mengikut, pasti mengikuti-yang diikuti-, lihat al-Mawâhib al-Saniyyah), dalam hal ini dimensi luar maupun dalam adalah al-Tâbi‘u, sedangkan status keduanya adalah sebagai Tâbi‘un kepada alam. Dari sini dapat kita pahami perbedaan antara Khalik dengan Makhluk.
Ibnu ‘Abbas berkata, ليس في الدنيا مما في الجنة إلا الأسماء, dan nash lainلا يشبه شيءٌ مما في الجنة ما في الدنيا إلاألأسماء
(tiada sesuatu pun perserupaan antara apa yang ada di dunia dengan apa yang ada di surga melaikan hanya nama).
Manakala antara sesama makhluk hanya ada perserupaan nama saja, maka antara khalik dan makhluk lebih utama untuk itu. Begitulah Istiwâ’, Nuzûl, Wajah, Yad, ‘Ain. Jangan kita bersikap ghuluw dalam Itsbat, metode salaf adalah paling baik, yaitu menyerahkan maksudnya kepada Allah sembari mengimani, tanpa Takyîf. Maka janganlah hendaknya kita mengharapkan agar Ahwâl Allah serupa dengan kita, harus berjihat, berdimensi ruang dan waktu, Allah maha suci dari ini semua. Jangan kita mengkhianati Lisan yang berkata:
بلا كيف, بلا تكييف, وكيف عنه مرفوع
namun pemahaman kita tetap memberikan Kaifiyyah kepada Allah meski tidak kita sadari. Apalagi jika Lisan kita sering mengucapkan firman Allah ليس كمثله شيئ, namun pada prakteknya pemahaman kita tetap memberikan Tasybiih kepada Allah meski tidak kita sadari. Sudah cukup kiranya kefasihan al-Qur’an yang menampilkan penafian perserupaan dengan menggunakan dua adat Tasybîh dalam ayat itu, yaitu الكاف dan مثل, Semoga kita dapat diberi pemahaman oleh Allah subhanahu wa ta‘ala. Amin
مهما تصورت ببالك فالله بخلاف ذلك
Allahu A’lam

Bukti (Scanned kitab) kejahatan wahabi memalsukan kitab Imam Ahlusunnah (Part 1) : 8 dari 40 kitab yang dipalsukan

Salafi Wahabi memalsu kitab Ulama mu'tabar
Buku : Salafi Wahabi – “Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik: Episode Kebohongan Publik Sekte Salafi Wahabi”.
Menurut penelitianpenulis, ada 38 kitab yang telah terbukti mengalami pemalsuan. Padahal ini belum lagi yang lain yang jumlahnya banyak. Diantaranya:
1.Shahih bukhari
2.Shahih muslim
3.Shahih at-turmudzi
4.Musnad imam ahmad
5.Tarikh al-ya’qubi
6.Nahj al-balaghah
7.Syarh aqaid an-nasafi
8.Al-kasykul wal mukhallah
9.Iqtidhas shirat al-mustaqim
10.Ahwalul qubur, ibn rajab
11.Al-bahr al-muhith
13.As-shawaiqul muhriqah
14.Diwan al-mutanabbi
15.Akhbarul himaqi wal mughaffilin
16.Hayatul muhammad
17.Thabaqatul mu’tazilah
18.Al-ibanah, asy’ari
19.Majma’ al-bayan
20.Mukhtashar tarikh ad-dual
21.Al-aghani, abul faraj
22.Muqatil at-thalibin
23.At-thabaqat, ibn sa’ad
24.Syarh an-nahj, al-mu’tazili
25.Tathir al-jinan
26.Al-ma’arif, ibn qutaibah
27.Tarikh at-thabari
28.Hasiyah as-shawi ala tafsir jalalain
29.Aqidatus salaf ashabul hadits
30.Syarh al-aqidah at-thahawiyah
31.Al-adzkar, an-nawawi
32.Tafsir al-kasyaf, az-zamahsyari
33.Diwanul imam syafi’i
34.Al-fawaid al-muntakhabat
35.Tafsir ruhul ma’ani
36.Hasiyah ibnul abidin
37.Majmu’ fatawa, ibn taimiyah
38.Nihayah al-qaul al-mufid
39. Alwasiat imam Hanafi
40. Nadzom jurumiyah
dll
[lihat Mereka memalsukan kitab-kitab karya ulama klasik:82-83]
disini adalah bukti nyata pemalsuan kitab kitab ulama sunni oleh wahabi :
1. Pemalsuan Kitab alwasiat (imam Hanafi)
2. Pemalsuan Kitab Ijtima’ al-Juyus al-Islamiyah ‘ala Ghazwi al-Mu’aththilah wa al-Jahmiyah (Ibnul Qayyim al-Jauziyah)
3. Pemalsuan Kitab  ‘Aqidah as-Salaf Ashab al-Hadits (Imam  Abu Utsman As-Shobuni)
4. Pemalsuan Kitab “Ash-Shawi ‘ala Tafsir Al-Jalalain”  (Imam ashawi asyafi’i)
5. Pemalsuan kitab “al adzkar” (Imam Nawawi)
6. Pemalsuan Kitab “Diwan Imam Syafii ” (Imam Syafii)
7. Pemalsuan Kitab “jami’ushaghir” (Imam Suyuti) oleh Syaikh Albani alkadzab
8. Pemalsuan  Kitab Nadhom Jurumiyah
Bukti Buktinnya: 

A. Kejahatan Wahabi Yang Merombak Kitab al-Washiyyah (Imam Abu Hanifah) : Dia Allah Istawâ atas arsy dari tanpa memerlukan kepada arsy itu sendiri dan tanpa bertempat di atasnya

Kejahatan Wahabi Yang Merombak Kitab al-Washiyyah Karya Imam Abu Hanifah
Tradisi buruk kaum Musyabbihah dalam merombak karya para ulama Ahlussunnah terus turun-temurun dan berlangsung hingga sekarang. Kaum Wahhabiyyah di masa sekarang, yang notabene kaum Musyabbihah juga telah melakukan perubahan yang sangat fatal dalam salah satu karya al-ImâmAbu Hanifah berjudul al-Washiyyah. Dalam Kitab berjudul al Washiyyah yang merupakan risalah akidah Ahlussunnah karya Imam agung, Abu Hanifah an Nu’man ibn Tsabit al Kufiyy (w 150 H),  beliau menuliskan :
استوى على العرش من غير أن يكون احتياج إليه واستقرار عليه
(Artinya; Dia Allah Istawâ atas arsy dari tanpa membutuhkan kepada arsy itu sendiri dan tanpa bertempat di atasnya).
Perhatikan manuskrip kitab al Washiyyah ini:
Namun dalam cetakan kaum Wahabi tulisan Imam Abu Hanifah tersebut dirubah menjadi:
استوى على العرش من غير أن يكون احتياج إليه واستقر عليه

Maknanya berubah total menjadi: ”Dia Allah Istawâ atas arsy dari tanpa membutuhkan kepada arsy, dan Dia bertempat di atasnya”.
Anda perhatikan dengan seksama cetakan kaum Wahabi berikut ini:
Padahal, sama sekali tidak bisa diterima oleh akal sehat, mengatakan bahwa Allah tidak membutuhkan kepada arsy, namun pada saat yang sama juga mengatakan bahwa Allah bertempat di atas arsy.
Yang paling mengherankan ialah bahwa dalam buku cetakan mereka ini, manuskrip risalah al-Imâm Abu Hanifah tersebut mereka sertakan pula. Dengan demikian, baik disadari oleh mereka atau tanpa disadari, mereka sendiri yang telah membuka ”kedok” dan “kejahatan besar” yang ada pada diri mereka, karena bagi yang membaca buku ini akan melihat dengan sangat jelas kejahatan tersebut.
Anda tidak perlu bertanya di mana amanat ilmiah mereka? Di mana akal sehat mereka? Dan kenapa mereka melakukan ini? Karena sebenarnya itulah tradisi mereka. Bahkan sebagian kaum Musyabbihah mengatakan bahwa berbohong itu dihalalkan jika untuk tujuan mengajarkan akidah tasybîh mereka. A’ûdzu Billâh. Inilah tradisi dan ajaran yang mereka warisi dari “Imam” mereka, “Syaikh al-Islâm” mereka; yaitu Ahmad ibn Taimiyah, seorang yang seringkali ketika mengungkapkan kesesatan-kesesatannya lalu ia akan mengatakan bahwa hal itu semua memiliki dalil dan dasar dari atsar-atsar para ulama Salaf saleh terdahulu, padahal sama sekali tidak ada. Misalkan ketika Ibn Taimiyah menuliskan bahwa “Jenis alam ini Qadim; tidak memiliki permulaan”, atau ketika menuliskan bahwa “Neraka akan punah”, atau menurutnya “Perjalanan(as-Safar) untuk ziarah ke makam Rasulullah di Madinah adalah perjalanan maksiat”, atau menurutnya “Allah memiliki bentuk dan ukuran”, serta berbagai kesesatan lainnya, ia mengatakan bahwa keyakinan itu semua memiliki dasar dalam Islam, atau ia berkata bahwa perkara itu semua memiliki atsar dari para ulama Salaf saleh terdahulu, baik dari kalangan sahabat maupun dari kalangan tabi’in, padahal itu semua adalah bohong besar. Kebiasaan Ibn Taimiyah ini sebagaimana dinyatakan oleh muridnya sendiri; adz-Dzahabi dalam dua risalah yang ia tulisnya sebagai nasehat atas Ibn Taimiyah, yang pertama an-Nashîhah adz-Dzhabiyyah dan yang kedua Bayân Zaghl al-‘Ilm Wa ath-Thalab.
Sesungguhnya memang seorang yang tidak memiliki senjata argumen, ia akan berkata apapun untuk menguatkan keyakinan yang ia milikinya, termasuk melakukan kebohongan-kebohongan kepada para ulama terkemuka. Inilah tradisi ahli bid’ah, untuk menguatkan bid’ahnya, mereka akan berkata: al-Imam Malik berkata demikian, atau al-Imam Abu Hanifah berkata demikian, dan seterusnya. Padahal sama sekali perkataan mereka adalah kedustaan belaka.
Dalam al-Fiqh al-Akbar, al-Imam Abu Hanifah menuliskan sebagai berikut:
“Dan sesungguhnya Allah itu satu bukan dari segi hitungan, tapi dari segi bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, tidak ada suatu apapun yang meyerupai-Nya. Dia bukan benda, dan tidak disifati dengan sifat-sifat benda. Dia tidak memiliki batasan (tidak memiliki bentuk; artinya bukan benda), Dia tidak memiliki keserupaan, Dia tidak ada yang dapat menentang-Nya, Dia tidak ada yang sama dengan-Nya, Dia tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya, dan tidak ada suatu apapun dari makhluk-Nya yang menyerupainya” (Lihat al-Fiqh al-Akbar dengan Syarh-nya karya Mulla ‘Ali al-Qari’, h. 30-31).
Masih dalam al-Fiqh al-Akbar, Al-Imam Abu Hanifah juga menuliskan sebagai berikut:
وَاللهُ تَعَالى يُرَى فِي الآخِرَة، وَيَرَاهُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَهُمْ فِي الْجَنّةِ بِأعْيُنِ رُؤُوسِهِمْ بلاَ تَشْبِيْهٍ وَلاَ كَمِّيَّةٍ وَلاَ يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ خَلْقِهِ مَسَافَة.“Dan kelak orang-orang mukmin di surga nanti akan melihat Allah dengan mata kepala mereka sendiri. Mereka melihat-Nya tanpa adanya keserupaan (tasybih), tanpa sifat-sifat benda (Kayfiyyah), tanpa bentuk (kammiyyah), serta tanpa adanya jarak antara Allah dan orang-orang mukmin tersebut (artinya bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak di dalam atau di luar surga, tidak di atas, bawah, belakang, depan, samping kanan atau-pun samping kiri)”” ( Lihat al-Fiqh al-Akbar dengan syarah Syekh Mulla Ali al-Qari, h. 136-137).
Pernyataan al-Imam Abu Hanifah ini sangat jelas dalam menetapkan kesucian tauhid. Artinya, kelak orang-orang mukmin disurga akan langsung melihat Allah dengan mata kepala mereka masing-masing. Orang-orang mukmin tersebut di dalam surga, namun Allah bukan berarti di dalam surga. Allah tidak boleh dikatakan bagi-Nya “di dalam” atau “di luar”. Dia bukan benda, Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah. Inilah yang dimaksud oleh Al-Imam Abu Hanifah bahwa orang-orang mukmin akan melihat Allah tanpa tasybih, tanpa Kayfiyyah, dan tanpa kammiyyah.
Pada bagian lain dari Syarh al-Fiqh al-Akbar, yang juga dikutip dalam al-Washiyyah, al-Imam Abu Hanifah berkata:
ولقاء الله تعالى لأهل الجنة بلا كيف ولا تشبيه ولا جهة حق“Bertemu dengan Allah bagi penduduk surga adalah kebenaran. Hal itu tanpa dengan Kayfiyyah, dan tanpa tasybih, dan juga tanpa arah” (al-Fiqh al-Akbar dengan Syarah Mulla ‘Ali al-Qari’, h. 138).
Kemudian pada bagian lain dari al-Washiyyah, beliau menuliskan:
وَنُقِرّ بِأنّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى مِنْ غَيْرِ أنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ إليْهِ وَاسْتِقْرَارٌ عَلَيْهِ، وَهُوَ حَافِظُ العَرْشِ وَغَيْرِ العَرْشِ مِنْ غَبْرِ احْتِيَاجٍ، فَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا لَمَا قَدَرَ عَلَى إيْجَادِ العَالَمِ وَتَدْبِيْرِهِ كَالْمَخْلُوقِيْنَ، وَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا إلَى الجُلُوْسِ وَالقَرَارِ فَقَبْلَ خَلْقِ العَرْشِ أيْنَ كَانَ الله، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوّا كَبِيْرًا.“Kita menetapkan sifat Istiwa bagi Allah pada arsy, bukan dalam pengertian Dia membutuhkan kepada arsy tersebut, juga bukan dalam pengertian bahwa Dia bertempat atau bersemayam di arsy. Allah yang memelihara arsy dan memelihara selain arsy, maka Dia tidak membutuhkan kepada makhluk-makhluk-Nya tersebut. Karena jika Allah membutuhkan kapada makhluk-Nya maka berarti Dia tidak mampu untuk menciptakan alam ini dan mengaturnya. Dan jika Dia tidak mampu atau lemah maka berarti sama dengan makhluk-Nya sendiri. Dengan demikian jika Allah membutuhkan untuk duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptakan arsy dimanakah Ia? (Artinya, jika sebelum menciptakan arsy Dia tanpa tempat, dan setelah menciptakan arsy Dia berada di atasnya, berarti Dia berubah, sementara perubahan adalah tanda makhluk). Allah maha suci dari pada itu semua dengan kesucian yang agung” (Lihat al-Washiyyah dalam kumpulan risalah-risalah Imam Abu Hanifah tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 2. juga dikutip oleh Mullah Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 70).
Dalam al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:
قُلْتُ: أرَأيْتَ لَوْ قِيْلَ أيْنَ اللهُ؟ يُقَالُ لَهُ: كَانَ اللهُ تَعَالَى وَلاَ مَكَانَ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ، وَكَانَ اللهُ تَعَالَى وَلَمْ يَكُنْ أيْن وَلاَ خَلْقٌ وَلاَ شَىءٌ، وَهُوَ خَالِقُ كُلّ شَىءٍ.“Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata: Di manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Nya ada. Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu” (Lihat al-Fiqh al-Absath karya al-Imam Abu Hanifah dalam kumpulan risalah-risalahnya dengan tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 20).
Pada bagian lain dalam kitab al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:
“Allah ada tanpa permulaan (Azali, Qadim) dan tanpa tempat. Dia ada sebelum menciptakan apapun dari makhluk-Nya. Dia ada sebelum ada tempat, Dia ada sebelum ada makhluk, Dia ada sebelum ada segala sesuatu, dan Dialah pencipta segala sesuatu. Maka barangsiapa berkata saya tidak tahu Tuhanku (Allah) apakah Ia di langit atau di bumi?, maka orang ini telah menjadi kafir. Demikian pula menjadi kafir seorang yang berkata: Allah bertempat di arsy, tapi saya tidak tahu apakah arsy itu di bumi atau di langit” (al-Fiqh al-Absath, h. 57).
Wa Allah A’lam Bi ash Shawab,
Wal Hamdu Lillah Rabb al Alamin,
Lampiran :


I. Bukti (Kitab al fiqh al absath)  Aqidah Imam Abu Hanifah “ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH”, (Mewaspadai Ajaran Sesat Wahabi)

Terjemah:
Lima: Apa yang beliau (Imam Abu Hanifah) tunjukan –dalam catatannya–: “Dalam Kitab al-Fiqh al-Absath bahwa ia (Imam Abu Hanifah) berkata: Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum menciptakan segala makhluk, Dia ada sebelum ada tempat, sebelum segala ciptaan, sebelum segala sesuatu”. Dialah yang mengadakan/menciptakan segala sesuatu dari tidak ada, oleh karenanya maka tempat dan arah itu bukan sesuatu yang qadim (artinya keduanya adalah
NIH BACA YANG DIGARIS MERAH :

( DIATAS ADALAH KENYATAAN IMAM ABU HANIFAH DALAM KITAB WASIAT BELIAU PERIHAL ISTAWA )

Demikian dibawah ini teks terjemahan nas Imam Abu Hanifah dalam hal tersebut ( Rujuk kitab wasiat yang ditulis imam hanifah, sepertimana yang telah di scandiatas, baca yang di line merah) :

 Berkata Imam Abu Hanifah: Dan kami ( ulama Islam ) mengakui bahawa Allah ta’al ber istawa atas Arasy tanpa Dia memerlukan kepada Arasy dan Dia tidak bertetap di atas Arasy, Dialah menjaga Arasy dan selain Arasy tanpa memerlukan Arasy, sekiranya dikatakan Allah memerlukan kepada yang lain sudah pasti Dia tidak mampu mencipta Allah ini dan tidak mampu mentadbirnya sepeti jua makhluk-makhluk, kalaulah Allah memerlukan sifat duduk dan bertempat maka sebelum diciptaArasy dimanakah Dia? Maha suci Allah dari yang demikian”. Tamat terjemahan daripada kenyatan Imam Abu Hanifah dari kitab Wasiat beliau.

B. Bukti Ibnu qayyim melegalkan tawasul dan Kejahatan Wahabi memalsukan kitab ibnul qayyim

Posted on April 23, 2012 by admin | Edit
Kitab karya Ulama Rujukan Sejati mereka pun tak lepas dari penganiayaan mereka.
Kitab “Ijtima’ al-Juyus al-Islamiyah ‘ala Ghazwi al-Mu’aththilah wa al-Jahmiyah” karya Ibnul Qayyim al-Jauziyah.
Ibnul Qayyim dalam kitab ini menyebutkan aqidah Imam Hujjatul Islam Abi Ahmad bin Husain Asy-Syafi’iy yang dikenal dengan Ibn Hadaad. Dalam kitab cetakan Darul Kutub ilmiyah, Beirut – Libanon, Cetakan pertama, Tahun 1974, Halaman 105 dituliskan :
ونتوسل إلى الله تعالى باتباعهم
Artinya : Dan kita ber”wasilah” (bertawassul) kepada Allah Yang Maha Tinggi dengan (cara) mengikuti mereka (para shahabat Rasulullah)
NAMUN jika kita lihat pada teks dalam manuskrip ASLinya, yang tertulis adalah :
ونتوسل إلى ربنا تعالى بهم
Artinya : Dan kita ber”wasilah” (bertawassul) kepada Tuhan kita Yang Maha Tinggi dengan mereka (para shahabat Rasulullah).
Secuil pen-tahrif-an isi kitab ini otomatis akan menghasilkan pengertian yang berbeda.
“Berwasilah dengan (cara) mengikuti para sahabat” berbeda pengertiannya dengan “berwasilah dengan mereka”.
KETERANGAN GAMBAR :
1. Tulisan dalam lingkar hitam adalah scan isi kitab Ijtima’ al-Juyus al-Islamiyah ‘ala Ghazwi al-Mu’aththilah wa al-Jahmiyah, cetakan Darul Kutub ilmiyah, Beirut – Libanon, Cetakan pertama, Tahun 1974, Halaman 105. kalimat dalam lingkar birunya adalah kalimat yang sudah ditahrif, yang tertulis : ونتوسل إلى الله تعالى باتباعهم
2. Tulisan dalam lingkar hijau adalah Zoom scan mahfuzhah/manuskrip dari kitab Ijtima’ al-Juyus al-Islamiyah ‘ala Ghazwi al-Mu’aththilah wa al-Jahmiyah. Kalimat dalam dua lingkar merah tertulis :
ونتوسل إلى ربنا تعالى بهم

C. Bukti Kejahatan Wahabi Mengubah Kitab Ash Shobuni dengan kedok Tharij/ Tahrif = Ziarah Kubur Nabi Menjadi Ziarah masjid nabi

Tahrif Kitab Ash Shobuni

Nama Kitab : ‘Aqidah as-Salaf Ashab al-Hadits
Penulis : Abu Utsman As-Shobuni
Pemalsu : (diduga) Kelompok Wahhabi
Tujuan : Pembenaran faham Wahhabi sebagai faham Salafy
Pada bukti kali ini anda akan saya bawa kepada fakta bahwa mereka memang suka mentahrif kitab kitab ‘Ulama, jika kaum Yahudi terkenal sebagai kaum yang suka merubah rubah isi kitab sucinya para Rasul, maka mereka sangat hoby mentahrif kitab ‘ulama, dan kali ini yang menjadi korban tahrif itu adalah Kitab Ash Shobuni.
Tahrif Kitab Ash Shobuni ini disertai bukti yang kuat melalui scen kitab asli dan palsunya, betapa tahrif kitab ash shobuni ini dalam rangka mendukung fatwa farwa mufti yang ada di kerajaannya.
Berikut adalah Cover Edisi “pemalsuan” pertama  cetakan tahun 1397 H.:
Tahrif Kitab Ash Shobuni
Edisi pertama ini adalah cetakan ad-Dar as-Salafiyah Kuwait. berikut adalah isu kajian yang dipalsukan:
perhatikan, pada halaman ini komentator menjelaskan (sekaligus memperlihatkan) perubahan kata “ziyarat qabri“ pada kata “ziyarat masjidi”. Menurutnya, kata “ziyarat qabri“ adalah salah (walaupun naskah aslinya seperti itu).
Lalu beberapa tahun kemudian, tahun 1404 H. terbit edisi baru:
Tahrif Kitab Ash Shobuni
ini adalah edisi cetakan  pada percetakan yang sama. dengan komentator Badar al-Badar (yang mungkin lebih amanah dari edisi sebelumnya), coba perhatikan pada isu yang sama:
pada halaman ini, terlihat bahwa kata “ziyarat qabri” tertulis sebagaimana aslinya. walaupun si komentator memberikan komentar sesuai dengan keyakinannya, bahwa kata “ziyarat qabri” itu salah.
Kemudian edisi berikutnya, terbit di Mesir:
Tahrif Kitab Ash Shobuni
yang diterbitkan oleh percetakan  Dar at-Tauhid li an-Nasr wa at-Tawzi’, dengan komentator Abu Khalid Majdi Ibn Saad. pada isu yang sama, si komentator sama sekali merubah dan bahkan membuang semua komentar pada edisi sebelumnya, sehingga pembaca akan kehilangan jejak sama sekali.
Tahrif Kitab Ash Shobuni
Anda ingin bergabung dengan orang-orang jahat? Wahabi akan menerima anda dengan tangan terbuka!!!

D. Tafsir Shawi Bongkar Kejahatan Wahabi

Hasyiyah Ash-Shawi 'ala Tafsir Al-JalalainDi dalam kitab tafsir “Ash-Shawi ‘ala Tafsir Al-Jalalain” yang masih asli dan belum ditahrif oleh Wahabi Salafi cetakan “Darul Fikr” jilid 5 halaman 119-120 (lihat dan simak tulisan yang ada di foto kedua & ketiga di bagian baris 1, 2, dan 3 dari bawah, dan foto keempat di bagian baris 5 dan 6 dari atas) diterangkan sebagai berikut:ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ لَهُمۡ عَذَابٌ۬ شَدِيدٌ۬ۖ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ لَهُم مَّغۡفِرَةٌ۬ وَأَجۡرٌ۬ كَبِيرٌ (٧ Artinya:Orang-orang yang kafir bagi mereka azab yang keras. Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh bagi mereka ampunan dan pahala yang besar. (Al-Qur’an Surat Fathir: 7)Tulisan yang ada di foto kedua dan ketiga, sebagai berikut:و قيل : هذه الأية نزلت في الخوارج الذين يحرفون تأويل الكتاب و السنة , و يستحلون بذلك دماء المسلمين و أموالهم , لما هو مشاهد الأن فى نظائرهم و هم فرقة بأرض الحجاز يقال لهم الوهابية يحسبون أنهم على شيئ Artinya:“Dikatakan bahwa ayat tersebut di atas diturunkan pada kaum Khawarij, yaitu golongan orang-orang yang suka mentahrif (merubah) Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Dengan demikian, mereka menghalalkan darah dan harta kaum muslimin. Hal itu bisa dibuktikan, karena adanya suatu kesaksian pada bangsa mereka saat ini. Mereka adalah golongan orang-orang yang berasal dari tanah Hijaz (sekarang Mekkah). Golongan tersebut dinamakan “Wahabiyyah”. Mereka mengira bahwa mereka berkuasa atas sesuatu.”…Tulisan yang ada di foto keempat, sebagai berikut:ألا أنهم هم الكاذبون , استحوذ عليهم الشيطان , فأنساهم ذكر الله , اولئك حزب الشيطان , ألا ان حزب الشيطان هم الخاسرون , نسأل الله الكريم أن يقطع دابرهم Artinya:“Ingatlah ! Mereka adalah golongan para pembohong, yang telah dikuasai oleh hawa nafsu setan. Dan setan itu berusaha melupakan agar mereka tidak ingat atau dzikir kepada Allah swt. Mereka adalah termasuk golongan setan. Sedangkan, golongan setan itu adalah golongan orang-orang yang merugi. Kami memohon kepada Allah Yang Maha Mulia, semoga Allah membinasakan mereka !.”
BANDINGKAN:
  • Kitab tafsir Ash-Shawi yang asli.
tafsir “Ash-Shawi ‘ala Tafsir Al-Jalalain” yang masih asli dan belum ditahrif oleh Wahabi Salafi cetakan pertama “Darul Fikr” th 1988 jilid 5 halaman 119, tertulis:
و قيل : هذه الأية نزلت في الخوارج الذين يحرفون تأويل الكتاب و السنة , و يستحلون بذلك دماء المسلمين و أموالهم , لما هو مشاهد الأن فى نظائرهم و هم فرقة بأرض الحجاز يقال لهم الوهابية يحسبون أنهم على شيئ
“Dikatakan bahwa ayat tersebut di atas diturunkan pada kaum Khawarij, yaitu golongan orang-orang yang suka mentahrif (merubah) Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Dengan demikian, mereka menghalalkan darah dan harta kaum muslimin. Hal itu bisa dibuktikan, karena adanya suatu kesaksian pada bangsa mereka saat ini. Mereka adalah golongan orang-orang yang berasal dari tanah Hijaz (sekarang Mekkah). Golongan tersebut dinamakan “Wahabiyyah”. Mereka mengira bahwa mereka berkuasa atas sesuatu.”
  • Kitab tafsir Ash-Shawi yang dipalsu wahabi
tafsir “Ash-Shawi ‘ala Tafsir Al-Jalalain” yang masih sudah dipalsukan dan dihapus oleh Wahabi Salafi cetakan “Darul Fikr” tahun 1993 jilid 3 halaman 397, Tertulis
و قيل : هذه الأية نزلت في الخوارج الذين يحرفون تأويل الكتاب و السنة , و يستحلون بذلك دماء المسلمين و أموالهم , لما هو مشاهد الأن فى نظائرهم………….. يحسبون أنهم على شيئ
“Dikatakan bahwa ayat tersebut di atas diturunkan pada kaum Khawarij, yaitu golongan orang-orang yang suka mentahrif (merubah) Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Dengan demikian, mereka menghalalkan darah dan harta kaum muslimin. Hal itu bisa dibuktikan, karena adanya suatu kesaksian pada bangsa mereka saat ini………………………………………….. Mereka mengira bahwa mereka berkuasa atas sesuatu.”
Sekte wahabi salafi menghapus kalimat:
و هم فرقة بأرض الحجاز يقال لهم الوهابية
Mereka adalah golongan orang-orang yang berasal dari tanah Hijaz (sekarang Saudi). Golongan tersebut dinamakan “Wahabiyyah”.
CATATAN PENTING:
Kitab tafsir “Ash-Shawi ‘ala Tafsir Al-Jalalain” yang saat ini beredar di seluruh dunia, asbabun nuzul (sebab-sebab diturunkannya ayat-ayat suci Al-Qur’an) ayat tersebut di atas yang menerangkan tentang “Wahabiyah” dihapus dan dihilangkan oleh kelompok Wahabi. Karena, kalau tidak dihilangkan akan merugikan dan membahayakan bagi mereka, bahkan bisa menjadi ancaman bagi Saudi Arabia dalam rangka tetap menjaga dan memelihara eksistensi kerajaannya di dunia internasional.
(Oleh: KH. thobary Syadzily, Ketua Tim Sarkub)


T
afsir hasyiah asowi yang lain :


DI ATAS ADALAH COVER BAGI KITAB “HASYIYAH AL-ALLAMAH AS-SOWI ALA TAFSIR JALALAIN” KARANGAN SYEIKH AHMAD BIN MUHAMMAD AS-SOWI ALMALIKY MENINGGAL 1241H.
YANG TELAH DIPALSUKAN OLEH WAHHABI.CETAKAN DAR KUTUB ILMIAH PADA TAHUN 1420H IAITU SELEPAS CETAKAN YANG ASAL TELAH PUN DIKELUARKAN PADA TAHUN 1419H.

INI ISU KANDUNGAN DALAM KITAB YANG TELAH DIPALSUKAN:

ISI KITAB DI ATAS YANG TELAH DIPALSUKAN & TIDAK BERSANDARKAN PADA NASKHAH YANG ASAL DAN DIUBAH PELBAGAI ISI KANDUNGAN ANTARANYA PENGARANG KITAB TELAH MENYATAKAN WAHHABI ADALAH KHAWARIJ KERANA MENGHALALKAN DARAH UMAT ISLAM TANPA HAK. TETAPI DIPALSUKAN OLEH WAHHABI LANTAS DIBUANG KENYATAAN TERSEBUT. INI MERUPAKAN KETIDAK ADANYA AMANAH DALAM ILMU AGAMA DISISI KESEMUA PUAK WAHHABI.
NAH…!
INILAH KITAB TAFSIR TERSEBUT YANG ORIGINAL LAGI ASAL:


DI ATAS INI ADALAH COVER KITAB SYARHAN TAFSIR ALQURAN BERJUDUL “HASYIYAH AL-ALLAMAH AS-SOWI ALA TAFSIR JALALAIN”.KARANGAN SYEIKH AHMAD BIN MUHAMMAD AS-SOWI ALMALIKY MENINGGAL 1241H.CETAKAN INI ADALAH CETAKAN YANG BERSANDARKAN PADA NASKHAH KITAB TERSEBUT YANG ASAL.DICETAK OLEH DAR IHYA TURATH AL-’ARABY.
PERHATIKAN PADA BAHAGIAN BAWAH SEBELUM NAMA TEMPAT CETAKAN TERTERA IANYA ADALAH CETAKAN YANG BERPANDUKAN PADA ASAL KITAB.CETAKAN PERTAMA PADA TAHUN 1419H IAITU SETAHUN SEBELUM KITAB TERSEBUT DIPALSUKAN OLEH WAHHABI.

INI ISI KANDUNGAN DALAM KITAB TERSEBUT PADA JUZUK 5 MUKASURAT 78:
DI ATAS INI ADALAH KENYATAAN SYEIKH AS-SOWI DARI KITAB ASAL MENGENAI WAHHABI DAN BELIAU MENYIFATKAN WAHHABI SEBAGAI KHAWARIJ YANG TERBIT DI TANAH HIJAZ.
BELIAU MENOLAK WAHHABI BAHKAN MENYATAKAN WAHHABI SEBAGAI SYAITAN KERANA MENGHALALKAN DARAH UMAT ISLAM, MEMBUNUH UMAT ISLAM DAN MERAMPAS SERTA MENGHALALKAN RAMPASAN HARTA TERHADAP UMAT ISLAM.LIHAT PADA LINE YANG TELAH DIMERAHKAN.
Inilah Wahhabi. Bila ulama membuka pekung kejahatan mereka Wahhabi akan bertindak ganas terhadap kitab-kitab ulama Islam.
Awas..sudah terlalu banyak kitab ulama Islam dipalsukan oleh Wahhabi kerana tidak sependapat dengan mereka.
Semoga Allah memberi hidayah kepada Wahhabi dan menetapkan iman orang Islam.

E. Kaum Wahabi Telah Mengoyak Kitab al Adzkar Karya Imam An Nawawi (Mengungkap Kejahatan Wahabi)

Kitab al-Adzkar al-Nawawiyyah karya al-Imam al-Nawawi pernah mengalami nasib yang sama. Kitab al-Adzkar dalam edisi terbitan Darul Huda, 1409 H, Riyadh Saudi Arabia, yang di-tahqiq oleh Abdul Qadir al-Arna’uth dan di bawah bimbingan Direktorat Kajian Ilmiah dan Fatwa Saudi Arabia(LAJNAH AL BUHUTS AL ILMIYYAH WA AD DA’WAH WA AL IRSYAD”.), telah di-tahrifsebagian judul babnya dan sebagian isinya dibuang. Yaitu Bab Ziyarat Qabr Rasulillah SAW diganti dengan Bab Ziyarat Masjid Rasulillah SAW dan isinya yang berkaitan dengan kisah al-’Utbi ketika ber-tawasul dan ber-istighatsah dengan Rasulullah saw, juga dibuang.
Anda tahu apa yang dilakukan oleh lajnah al buhuts at takfiriyyah ini???? Mereka “mengoyak” tulisan Imam an Nawawi; lihat.. sebuah bab semula berjudul:
فصل في زيارة قبر رسول الله صلي الله عليه وسلم
[[[[[ Pasal: Dalam menjelaskan tentang ziarah ke makam Rasulullah ]]]]]
(Anda tahu; kandungan makna dari penamaan bab ini?? adalah berisi ungkapan betapa besar Imam an Nawawi mencintai dan mengagungkan Rasulullah….!!!)
Tapiiii…. ternyata; kaum Wahabiyyah Talafiyyah telah merubah judul bab tersebut menjadi:
فصل في زيارة مسجد رسول الله صلي الله عليه وسلم
[[[[ Pasal: Dalam menjelaskan ziarah ke masjid Rasulullah ]]]]
(Anda tahu dengan pemalsuan tangan-tangan jahat Wahabi ini betapa besar “luka” yang ditorekan mereka kepada “hati” seorang Imam terkemuka sekelas Imam an Nawawi??? Apakah anda tidak merasakan bahwa tangan-tangan jahat tersebut tidak hanya melukai seorang Imam an Nawawi… tapi; PERHATIKAN… bukankah itu melukai Rasulullah???? Lalu apakah anda sebagai umat Rasulullah tidak merasa dilukai ketika Rasulullah dilukai oleh tangan-tangan jahat itu???
Apakah anda tahu bahwa Rasulullah besabda:
من زار قبري وجبت له شفاعتي / رواه البزار وغيره
“Barangsiapa yang datang berziarah ke makamku maka wajiblah ia mendapatkan syafa’atku” (HR. al Bazzar dan lainnya)
????????????????????????????????????????????????????
Orang-orang Wahabi yang tidak tahu diri itu harus menjawab “pertanyaan panjang” ini, dan harus mempertanggungjawabkan itu semua di hadapan Rasulullah kelak; [ ]

Sedangkan pada cetakan wahabi yang lain, kisah utbiy tidak dihilangkan tapi “Pasal ziarah ke kubur Nabi” tidak ditulis dalam daftar isi kitab padahal setiap pasal yang lain ditulis. Sedangkan “Bab Apa apa yang bermanfaat bagi si mayyit dari bacaan selainnya/ bab maa yafna’u lmayyit min qauli ghirihi” SUDAH DIHILANGKAN.  Dibawah ini adalah scan kitab annawawi yang masih asli:
Maka tersebutlah di dalam kitab “al-Adzkar” yang masyhur karya ulama waliyUllah terbilang, Imamuna an-Nawawi ‘alaihi rahmatul Bari, pada halaman 258, antara lain:-
“…. Dan para ulama telah berbeza pendapat mengenai sampainya pahala bacaan al-Quran (kepada si mati). Maka pendapat yang masyhur daripada mazhab asy-Syafi`i dan sekumpulan ulama bahawasanya pahala bacaan al-Quran tersebut tidak sampai kepada si mati. Imam Ahmad bin Hanbal serta sekumpulan ulama yang lain dan sekumpulan ashab asy-Syafi`i (yakni para ulama mazhab asy-Syafi`i) berpendapat bahawa pahala tersebut SAMPAI. Maka (pendapat) yang terpilih adalah si pembaca al-Quran tersebut hendaklah berdoa setelah bacaannya : “Ya Allah sampaikanlah pahala apa-apa yang telah aku bacakan kepada si Fulan.”
F. Bait Diwan Imam Syafe’i yang dihilangkan oleh wahabi ****
BAIT YANG HILANG DARI DIWAN IMAM SYAFI’I !
فقيها و صوفيا فكن ليس واحدا * فإني و حـــق الله إيـــاك أنــــصح
فذالك قاس لم يـــذق قـلــبه تقى * وهذا جهول كيف ذوالجهل يصلح
Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih dan
juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya.
Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu.
Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mahu menjalani tasawuf, 
maka hatinya tidak dapat merasakan kelazatan takwa. 
Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mahu mempelajari ilmu fiqih, 
maka bagaimana bisa dia menjadi baik?
[Diwan Al-Imam Asy-Syafi’i, hal. 47]
COBA DOWNLOAD DARI (Diwan syafii yang dipalsukan) :
MAKA KALIMAT DI ATAS SUDAH HILANG !
BANDINGKAN DENGAN TERBITAN BEIRUT DAN DAMASKUS:
Dar al-Jil Diwan (Beirut 1974) p.34
 Dar al-Kutub al-`Ilmiyya (Beirut 1986) p.48  

Bahkan terbitan Dar el-mareefah juga dihilangkan (Scan kitab pdf diwan syafii yang asli):
http://www.4shared.com/file/37064910/c3ad321/Diwan_es-Safii.html?s=1

G. Syaikh Albani wahabi mengubah Kitab Jami’ushaghir Imam Suyuti

Kitab Al-Jamius Shaghir ditulis oleh Imam Jalaluddin As-Suyuthi. Nama lengkap beliau adalah Jalaluddin abdurrahman ibn Kamaluddin Abi Bakr ibn Muhammad al-Suyuthi. Beliau lahir tahun 849 H atau tahun 1445 M di Asyuth Mesir dari keturunan orang-orang terkemuka di negeri itu dan wafat tahun 911 H atau 1505 M. Ayah beliau wafat pada waktu beliau berumur 6 tahun, sehingga beliau tumbuh sebagai anak yatim.
Untuk memuaskan dahaganya akan ilmu, maka selain di negerinya sendiri, beliau pun mencari ilmu dan merantau ke negeri-negeri seperti Syam, Hijaz, Yaman, India, Maghribi, dan negeri-negeri lain; serta berguru pada para ulama terkenal yang menguasai berbagai disiplin ilmu saat itu, yang jumlahnya kurang lebih 150 orang. Di antara ulama itu ialah Syaikh Syihabuddin al-Syarmasahi, Syaikhul Islam Alamuddin al-Bulqini, putera al-Bulqini, Syaikhul Islam Syarafuddin al-Manawi, Taqiyuddin al-Syibli, Muhyiddin al-Khafiji, Syaikh al-Hanafi, dan lain-lain. Bidang keilmuan yang beliau kuasai sangat luas, antara lain Tafsir, Hadits, Fiqh, Nahwu, Ma’ani, Bayan, dan Badi’ menurut cara orang Arab yang baligh, bukan menurut cara orang Ajam (non-Arab) dan ahli-ahli filsafat (keterangan ini dapat diperoleh dalam kitab beliau Husnul Muhaadlarah).
Sesungguhnya kitab hadits Al-Jami’ Ash-Shaghir karangan Al-Hafidz As-Suyuthi merupakan salah satu kitab hadits yang paling lengkap pokok pembahasannya, paling banyak manfaatnya, paling sederhana penyusunannya. dan yang menjadi kekhasan kitab ini adalah hadits-hadits yang tercantum diurutkan berdasarkan urutan huruf hijaiyah.Kitab jamius Shaghir beliau selesaikan pada tahun 907 H, 4 tahun sebelum beliau wafat (911 H). Dan ini sungguh suatu jihad yang dilakukan oleh seorang ulama untuk mengumpulkan dan menyusun sebuah kitab sehingga manfa’atnya dapat dirasakan oleh ummat setelahnya. Beliau juga menyusun secara terpisah appendix (lampiran) bagi kitabnya ini dengan judul Ziyaadah Al Jami’. Dalam salah satu tulisannya beliau berkata,”Ini adalah appendix bagi kitab karangan saya yang bernama Al Jamius Shaghir Min hadits Al basyir An Nadzir, dan saya memberinya nama Az Ziyadah Al Jami’. Kode yang terdapat dalam appendix ini sam dengan kode dalam kitab Al Jami’, dan susunannya pun sama dengan yang terdapat dalam kitab Al jami’”
Akan tetapi masih banyak koreksi hadits dari para ulama yang lain diantaranya Al-Imam Al-Mannawi -rahimahullah- dalam kitabnya Al-Faidhul Qodir Syarh Al-Jamius Shaghir, juga Appendix kitab Al-jami’, yakni Az-Ziyadah Al-Jami’ juga beliau komentari dalam kitabnya Miftah As-Sa’dah bi Syarhi Az-Ziyadah. Dalam kitabnya ini, Beliau berupaya mengkritisi derajat hadits yang terkandung dalam kitab Al-Jamius Shaghir, namun sayangnya tidak semua hadits beliau teliti.
Entah dengan alasan tersebut atau maksud lain, maka seorang yang katanya ulama hadits tapi belum punya julukan AL-HAFIZH tetapi berani membuat KITAB TANDINGAN JAMI’US SHAGHIR. Orang ini namanya tersohor dikalangan WAHABI SALAFI tapi keulama’annya terdengar ANEH ditelinga Ahlussunnah wal Jama’ah pada umumnya. Siapa dia kalau bukan Nashiruddin Al-Albani yang mengklaim dirinya telah menyempurnakan kitab Jami’us Shaghir dengan LABEL SHAHIH AL-JAMI’ ASH-SHAGHIR WA ZIYADATUH. Juga begitu beraninya Al-Bani ini mendho’ifkan banyak hadits shahih Imam Bukhari.
Untuk membedakan mana Kitab Jami’us Shaghir milik Ahlussunnah Imam Suyuthi dan Kitab Jami’us Shaghir milik WAHABI SALAFI karangan Al-Bani perhatikan gambar dibawah ini.
Jami’us Shaghir As-Suyuthi syahadatnya memakai kata “SAYYIDINA.” Dan tidak melabelkan kata SHAHIH. Hal ini menggambarkan katawadhuan beliau akan kekurangan-dan kelemahan sebagai manusia yg tidak bisa terlepas dari kesalahan.
Bandingkan dengan Jami’us Shaghir karangan Al-Bani yang dengan bangganya melabelkan kata “SHAHIH” yang dimana secara nalar sehat menggambarkan kegeniusan dan hapalannya akan ilmu dan hadits-hadits Nabi, meskipun dia belum memiliki julukan AL-HAFIZH (banyak menghapal hadits-hadits Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam), dan juga tidak mau menyebutkan kata “SAYYIDINA” dalam membaca syahadat Rasul.
Ikhwan wa Akhwat fillah…………..hati-hati dan waspada dengan propaganda ulama-ulama WAHABI SALAFI yg bisanya hanya menyalahkan, mendho’ifkan kitab-kitab ulama salaf dan hadits-hadits Nabi, sementara mereka tidak lain hanyalah ulama pemecahbelah umat islam, terutama NASHIRUDIN AL-ALBANI tukang servis jam beralih menservis HADITS SHAHIH menjadi HADITS DHO’IF. Wallohul musta’an wa bish-shawab.

H.  Wahabi Tahrif/Ubah  Kitab Nadhom Jurumiyah
Astagfirullah… lagi-lagi tangan jahat komplotan tanduk setan nejd gentayangan.. kenapa mereka usil suka merubah-ubah kitab karya ulama shaleh terdahulu. Sekarang giliran kitab nadzhom jurumiyah (kitab nahwu/tata bahasa arab) yang kena tahrif komplotan wahabi.  Suatu kejahatan pelanggaran Hak Cipta Kekayaan Intelektual (HAKI) dilakukan oleh komplotan yang mengaku paling murni aqidah  & paling nyunnah.
Komplotan wahabi yang mentahrif kitab ini adalah
  1. محمد رفيق الونشريسي الجزائري
  2. أحمد بن عمر الحازمي
  3. محمد بن أحمد جَدّو
Ternyata Bait ke 4 terakhir dari kitab nadzom Ajjurumiyah mereka tahrif (lihat gambar dibawah)
Mereka (komplotan WC)  mengganti kata ” بجاه ” dengan kata ” بحب  ”
Sebagi bukti Silahkan download kitabnya disini: http://www.almtoon.com/show-book.php?id=10
Inilah Bait Nadzhom dimanipulasi:

جعلها الله لكل مبتدي **** دائمة النفع بحب أحمد

”Semoga Allah Menjadikan Kitab selalu dalam kemanfaatan bagi para mubtadi (orang yang baru belajar) dengan kecintaan kepada Ahmad (Nabi Muhammad)”
Dan Inilah Bait Nadzhom Aslinya:

جعلها الله لكل مبتدي **** دائمة النفع بجاه أحمد

”Semoga Allah menjadikan selalu manfaat bagi orang yang baru belajar dengan kemuliaan (martabat) Nabi Muhammad”
——-
قال ذلك الوهابي في الشرح : ثم سأل (المؤلف) الله عز و جل أن يجعل نظمه هذا دائم النفع للمبتدئين في علم النحو و قد توسل إلى الله سبحانه و تعالى في الأصل : بجاه محمد صلى الله عليه و سلم فقــــــــــــــــــــــــال
Telah berkata Wahabi dalam Syarah Kitab Itu : Kemudian meminta (pengarang kitab) kepada Allah, supaya nadhomanya di jadikan selalu bermanfaat bagi orang2 yang baru belajar dalam ilmu nahwu, dan ia (si pengarang kitab) bertawasul (mengambil perantara) kepada Allah. Padahal dalam text aslinya adalah: Dengang Kemuliaan Nabi muhammad SAW.
ثم قال (الأستاذ الونشريسي) : و معلوم ما في هذا التوسل من مخالفة لما كان عليه سلفنا الصالح رضوان الله عليهم جميعا فحذفته و أبدلته بتوسل مشروع و هو حب النبي صلى الله عليه و سلم و راجع في ذلك كتاب العلامة المحدث الفقيه محمد ناصر الدين الألباني رحمه الله التوسل أنواعه و أحكامه ) فإنه فريد في بابه. انتهى.
Kemudian berkata Si Wahabi (الأستاذ الونشريسي) dan telah di ketahui apa yang ada dalam tawasul ini adalah dari menyalahi apa yang ada pada ulama salaf, maka Aku menghilangkanya dan menggantinya denga tawasul yang di syariatkan yaitu dg mencintai nabi Muhammad saw, dan sebagai pengembalian hukum dalam masalah itu adalah kitab karya Al-alamah Ahli hadits Ahli fiqih yaitu Muhammad nasiruddin Albani (kitab tawasul dan hukum2nya), dalam bab tersendiri.
————
Berikut hasil download di: http://www.almtoon.com/show-book.php?id=10
(*) Tahrif (تحريف ):  distortion, corruption, alteration: “penyelewengan, kecurangan, pengubahan”)