Sunday, June 21, 2015

Dalil Tahlil

Tahlil dilakukan dengan membaca kumpulan dzikir semenjak hari kematian mayit dari hari pertama sampai ke tujuh kemudian pada hari ke 40, ke 100, kemudian setiap tahun yang dikenal dengan haul, pahala dzikir tersebut dihadiahkan kepada sang mayyit. Tradisi ini sudah melekat di kalangan rakyat Indonesia.
Di antara dalil dari tahlil yaitu berupa atsar yang menyebutkan bahwa ketika Sayyidina Umar RA. meninggal para shahabat berkumpul untuk makan di rumah beliau selama tiga hari.  Ada yang mengatakan juga bahwa perkumpulan shahabat tersebut untuk memilih kholifah yang baru sebagai pengganti dari Sayyidina Umar RA. Kemudian dari sini diambil kesimpulan bahwa berkumpul setelah kematian beberapa hari diperbolehkan.
Dalil yang lain berupa riwayat dari Ahmad bin Hanbal yang menyebutkan bahwa orang yang baru meninggal akan ditanya dan diuji oleh malaikat Munkar Nakir selama tujuh hari. Melihat hal ini maka diperbolehkan untuk mengajak orang untuk mendoakan mayyit tersebut agar sukses dalam melewati masa-masa itu. Inti dalam tahlil adalah berdoa, dan telah disepakati bahwa berdoa untuk kebaikan diperbolehkan, adapun masalah apakah doa tersebut dikabulkan dan sampai untuk mayyit, hanya Allah yang tahu.
Jika dikatakan bahwa berkumpul bersama pada hari-hari tertentu setelah kematian mayyit adalah merupakan  warisan dari tradisi nenek moyang yang beragama Hindu, maka tidak bisa seratus persen dibenarkan. Karena menurut pendapat yang rajih mengatakan bahwa Wali Songo yang pertama kali mengadakan tahlil adalah keturunan dari ‘Ammul Faqih al-Muqoddam yang berasal dari Hadhramaut yang kemudian hijrah ke Gujarat India, kemudian setelah itu berdakwah menyebarkan Islam di tanah Jawa. Di Hadhramaut sendiri sampai sekarang masih ada tradisi yang dinamakan Khotm yaitu pembacaan al-Qur’an 30 juz di hari pertama sampai hari ke tujuh dari kematian sang mayit, juga ada peringatan haul. Jadi, tradisi yang dilakukan di Hadhramaut setelah meninggalnya mayit hampir sama dengan tradisi di Indonesia hanya istilahnya saja yang berbeda.
Jadi, ada kemungkinan bahwa tradisi tahlil berasal dari Hadhramaut dan bukan tradisi Hindu, karena di Hadhramaut tidak ada agama Hindu.
Bisa juga tradisi tahlil kebetulan sama dengan tradisi Hindu, namun tidak ada kesengajaan untuk menyamai mereka, karena sebagaimana disebutkan bahwa Islam di Jawa datang dari Hadhramaut yang tidak terdapat orang Hindu di dalamnya.
Kalau pun misalnya tradisi berkumpul setelah mayyit meninggal sama dengan apa yang dilakukan oleh agama Hindu, hanya saja isinya saja yang berbeda, maka tidak ada masalah selama apa yang dilakukan di dalamnya adalah sebuah kebaikan, karena isi dari tahlil adalah pembacaan al-Quran, dzikir dan do’a yang semuanya dianjurkan dalam agama. Allah SWT menganjurkan untuk memperbanyak melakukan kebajikan, firman Allah SWT:
وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ[الحج: ٧٧]
Artinya:
Dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan  (QS. al-Hajj: 77).
Pintu kebajikan terbuka lebar dan beragam macamnya, dan salah satunya adalah tahlil yang diisi dengan kebaikan-kebaikan seperti pembacaan al-Quran, dzikir dan doa.
Allah SWT juga menganjurkan umat Islam untuk banyak berdzikir mengingat Allah SWT, tahlil adalah merupakan salah satu ajang untuk memperbanyak dzikir, firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا  [الأحزاب: ٤١]
Artinya:
Dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung (QS. al-Jumu’ah: 10).
Memang acara tahlil tidak dilakukan oleh Rasulullah, namun tidak semua hal yang tidak dilakukan oleh Rasulullah adalah hal yang tidak baik. Tahlil merupakan hal baru yang tidak dilakukan oleh Rasulullah, namun merupakan kebaikan dan hal ini tidak dipermasalahkan, bahkan hal baru yang baik kemudian dilestarikan akan melahirkan pahala yang tak terhingga dan terus bertambah sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadits:
مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كَانَ لَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا، مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْقِصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا
Artinya:
Barang siapa yang membuat hal baru yang baik kemudian dilakukan (diikuti orang lain) setelahnya, maka dia akan mendapat pahalanya (dari hal yang dilakukan tersebut), dan pahala orang yang melakukannya tanpa dikurangi sedikit pun.
Salah satu contohnya adalah apa yang dilakukan oleh shahabat Bilal RA yang disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِبِلَالٍ عِنْدَ صَلَاةِ الْفَجْرِ: «يَا بِلَالُ حَدِّثْنِيْ بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي الْإِسْلَامِ، فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ في الجَنَّةِ » قَالَ : مَا عَمِلْتُ عَمَلاً أرْجَى عِنْدي مِنْ أَنِّي لَمْ أتَطَهَّرْ طُهُوراً فِي سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلاَّ صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي أنْ أُصَلِّي (متفقٌ عَلَيْهِ(
Artinya:
Bahwa Nabi SAW berkata kepada Bilal ketika waktu sholat Fajr, “Wahai Bilal beritahukan kepadaku tentang paling dianjurkannya amal yang engkau lakukan dalam Islam, karena sesungguhnya Saya mendengar suara gesekan sandalmu di dalam surga”, kemudian Bilal menjawab, “Saya tidak melakukan satu amal pun yang dianjurkan menurutku kecuali bahwa saya tidak pernah bersuci (berwudhu) suatu saat pun baik pada malam atau siang hari kecuali saya sholat (syukril wudhu) dengan wudhu tersebut sebuah sholat yang aku haruskan (Muttafaq alaih).
Sebenarnya pelaksanaan tahlil bisa dilakukan kapan saja dan tidak terpaku pada hari tertentu, penetapan pelaksanaan tahlil pada hari pertama sampai ke tujuh kemudian 40 dan seterusnya ditujukan agar masyarakat mengetahui bahwa pada hari-hari itu dilaksanakan ritual tahlil, sehingga mereka bisa berbondong-bondong untuk menghadirinya tanpa adanya suatu undangan dan tanpa rasa sungkan, dan sohibul hajat juga tidak usah repot untuk mengumumkannya.
Di tempat lain seperti di negara Pakistan waktu pelaksanaan tahlil agak sedikit berbeda, mereka melakukannya pada hari pertama sampai ke tujuh kemudian pada hari ke sepuluh kemudian hari ke empat puluh, ini tidak menjadi masalah. Jadi, penentuan hari-hari itu bertujuan untuk mempermudah dalam pelaksanaannya, karena akan menjadi sebuah adat dan kebiasaan yang akan menjadi masyhur di kalangan masyarakat.
Masalah pengkhususan waktu tersebut, selagi tidak ada larangan dalam syariat maka hukumnya mubah. Jika memang ternyata ada larangan dalam syariat dan jelas, maka hukumnya tidak boleh, seperti sholat sunnah mutlak setelah Ashar dan waktu istiwa.
Persamaan waktu pelaksanaan tahlil dengan apa yang dilakukan oleh umat Hindu tidak bisa dimasukkan dalam kategori tasyabbuh biqoumin yang bersifat negative. Hal ini diqiyaskan dengan hadits 10 ‘Asyuro, Nabi SAW menganjurkan umatnya untuk berpuasa pada hari itu, padahal hari itu adalah hari di mana orang Yahudi berpuasa sebagai ungkapan kegembiraan atas kemenangan Nabi Musa AS. Nabi bersabda bahwa kita lebih berhak dalam hal itu.
Lagipula apa yang dilakukan di dalam ritual tahlil tidak ditemukan adanya tasyabbuh dengan orang Hindu, karena dalam tahlil dibaca dzikir dan do’a sedangkan mereka tidak melakukannya, jadi tidak bisa begitu saja dikatakan tasyabbuh dengan mereka.
Segala sesuatu yang belum jelas hukumnya dikembalikan kepada hukum asal dalam syariat bahwa selagi hal itu tidak ada larangan dalam syariat berarti hukumnya adalah mubah, kemudian dilihat isi dari pekerjaan itu, apakah baik atau tidak, jika baik maka diperbolehkan. Jadi, selama dalam perkumpulan tersebut tidak ada kemungkaran bahkan yang ada hanyalah kebaikan, menolong sesama dalam ketakwaan dan kebaikan maka diperbolehkan.

Wallahu a’lam bisshowab.
Wassalamu ‘alaykum wr. wb.
Oleh: Al-Ustadz Ikrom Rijal, MA. & Al-Ustadz Ahmad Muhammad Sa’dul Kholqi, MA.

No comments:

Post a Comment