Tuesday, June 2, 2015

AYO Mondok!

AYO Mondok!

Munawir Aziz*
Sejarah Islam Nusantara dan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran santri dan pesantren. Keduanya menjadi instrumen penting penyebaran agama. Catatan-catatan sejarah, semisal Ma Huan dan inskripsi makammakam di Jawa menyebut bahwa penyebaran Islam di Indonesia pada kisaran abad XI-XIV.
Pada titik inilah, Islam mulai menjadi bagian dari dinamika agama di Nusantara, yang terkait dengan gerak misi Buddha dan Hindu di Jawa dan Sumatra. Santri mulai mencatatkan sejarahnya ketika Walisongo menjadi juru dakwah dengan strategi damai.
Walisongo, yang merupakan misi keagamaan dan politik Ottoman kemudian b e r – jejaring dengan ulamaulama dari Campa dan India. Inilah yang menjadi model transformasi Islam ke seluruh Nusantara. Silang koneksi Ottoman, Arab, Tiongkok, India, dan Nusantara jadi bagian dari sejarah politik keagamaan di negeri ini. Hingga, proses lahirnya Islam Indonesia yang bertahan hingga kini dengan segenap variannya.
Politik Kebangsaan
Pada masa revolusi, jaringan santrikiai berperan penting memperjuangkan kemerdekaan dan melawan kolonial. Fatwa Jihad Kiai Hasyim AsyĆ­ari (1871-1947) pada 22 Oktober 1945 menggerakkan ribuan santri untuk berjuang bersama dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya dan peristiwa Palagan Ambarawa (Bizawie; 2013). Lagi-lagi, peran sejarah santri ini tersisih dari naskah sejarah Indonesia modern. Lalu, bagaimana santri dimaknai dalam kontestasi politik saat ini? Kiprah KH Abdurrahman Wahid (19- 40-2009) menjadi penanda penting.
Gus Dur yang meneruskan jejak perjuangan ayahanda (KH Wahid Hasyim, 1914-1953) dan kakeknya, tampil sebagai santri yang tidak hanya menguasai pengetahuan agama tapi juga berhasil mentransformasikan ilmunya dalam strategi politik kebangsaan. Peran sejarah santri sering dipinggirkan dalam wacana pengetahuan ataupun politik penguasa. Pada era Jokowi-JK, santri dan komunitas pesantren dapat menjadi bagian penting dari upaya pemerintah menerjemahkan konsep revolusi mental.
Dalam tradisi santri, revolusi mental bergerak secara dinamis tanpa terjebak pada isu-isu ideologis. Revolusi mental sudah jadi bagian dari tradisi sejarah santri, dengan perlawanan kontinu terhadap kolonialisme ataupun upayaupaya yang menghancurkan bangsa. Santri juga bisa menjadi agen untuk menebar Islam yang ramah dan mengampanyekan Islam yang rahmatan lil lamin.
Di titik ini, risiko akibat gesekan ideologi antarkelompok Islam ataupun ideologi lintas agama bisa diredam. Gerakan #AyoMondok yang diinisiasi RMI dan jaringan pesantren di negeri ini perlu didukung sebagai langkah strategis berkontribusi dalam sistem pendidikan nasional. (10)
*Munawir Aziz, Koordinator Media dan Informasi Rabithah Ma’- ahid Islamiyyah (RMI, asosiasi pesantren NU) Jawa Tengah, peneliti tentang Islam Nusantara

No comments:

Post a Comment